Universitas Airlangga Official Website

Strategi Adaptasi Individu Transgender di Indonesia

Ilustrasi by Jakarta Post
Ilustrasi by Jakarta Post

SOGIESC adalah singkatan yang di bahasa Indonesiakan sebagai orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik jenis kelamin. Banyak negara termasuk Indonesia yang enggan mengakui keberagaman gender, jenis kelamin, dan seksualitas. Indonesia sebagai negara konservatif dan religius menegakkan heteronormativitas sebagai norma sosial, sehingga memarginalkan mereka di luar biner, termasuk identitas transgender. Orang-orang transgender sering dianggap sebagai penyimpang sosial di Indonesia karena menyimpang dari norma-norma masyarakat. Sebagai akibat dari marginalisasi tersebut, mereka menghadapi stereotip, prasangka, diskriminasi, dan tantangan berat lainnya.

Sayf Muhammad Alaydrus, Azzah Kania Budianto, dan Myrtati Dyah Artaria yang merupakan sivitas akademika departemen Antropologi, Universitas Airlangga, bersama Charanjit Kaur (Universiti Tunku Abdul Rahman, Malaysia) dan Maciej Henneberg (University of Adelaide, Australia) melakukan penelitian kualitatif yang berfokus pada pengalaman individu transgender di Indonesia selama pandemi COVID-19. Hal ini sebab pandemi COVID-19 telah memengaruhi semua orang di Indonesia. Termasuk komunitas transgender yang sebelumnya diketahui mengalami diskriminasi di aspek lainnya.

Diskriminasi pada teman-teman transgender merupakan hambatan yang signifikan, berdampak pada kesehatan mental dan citra tubuh. Studi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan prasangka dan diskriminasi yang dihadapi oleh komunitas transgender akibat norma sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana adaptasi individu transgender selama pandemi di Indonesia.

Peneliti melakukan wawancara mendalam pada sepuluh informan yang terpilih berdasarkan kesesuaian kriteria dan kesediaan untuk berpartisipasi. Para informan ini, yang tinggal di kota-kota seperti Semarang, Jakarta, dan Bali, berbagi pandangan mereka tentang pandemi, perjuangan, mekanisme coping, kesehatan mental, dan akses layanan kesehatan. Dari sepuluh informan yang terlibat, delapan di antaranya mengidentifikasi diri sebagai transpuan dan dua sebagai transpria.

Penelitian ini menemukan bahwa identitas gender para informan sangat terkait dengan tingkat transphobia yang mereka alami. Pekerjaan mereka bervariasi, dengan tiga sebagai mahasiswa, dua bekerja di LSM sebagai staf/manajer, satu sebagai guru, dan lainnya di sektor informal. Dampak finansial pandemi sangat signifikan, memengaruhi 60% dari informan. Respons pemerintah terhadap pandemi, terutama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dikritik sebagai tidak memadai. Standar pekerjaan yang diskriminatif juga menjadi tantangan bagi individu transgender yang kompeten dalam mencari pekerjaan. Dengan minimnya perlindungan hukum, itu mengimplikasikan bahwa hak-hak kemanusiaan transgender di Indonesia tidak diakui secara resmi.

Informan melaporkan tingkat stres yang bervariasi, dengan strategi coping termasuk mencari bantuan dari teman, menghabiskan waktu sendirian, dan menjaga sikap agar tetap positif. Dukungan dari komunitas, atau “choosen family” (yang secara harfiah diartikan sebagai “keluarga pilihan”) menjadi penting karena kurangnya dukungan dari keluarga biologis.

Kebijakan lockdown oleh pemerintah mengarah pada peningkatan ketergantungan pada koneksi online, menyoroti pentingnya keluarga pilihan untuk kesejahteraan mental. Stres informan juga menjadi penyebab beberapa hal, seperti ketidakbebasan informan dalam mengekspresikan diri dalam lingkungan rumahnya.

Teman-teman transgender yang berinteraksi dengan orang sekitarnya pun bercerita bahwa sering terjadi misgendering (penyematan identitas gender yang salah pada individu) dan deadnaming (penggunaan nama ‘lama’ individu tersebut, hal ini signifikan karena banyak individu trans yang mengganti namanya). Kedua hal tersebut merupakan sumber ketidaknyamanan dan meningkatkan gender dysphoria (ketidaknyamanan seseorang karena identitas gender diri berkonflik dengan unsur lainnya). Penggunaan pronoun atau kata ganti yang mereka inginkan merupakan cara untuk mengurangi masalah kesehatan mental mereka.

Karena pemerintah memiliki program vaksinasi wajib untuk melawan COVID, para peneliti merasa relevan untuk menyelidiki status vaksinasi mereka. Meskipun semua informan telah divaksinasi, 50% menghadapi kesulitan dalam mengakses vaksin, yang disebabkan karena misgendering dan deadnaming selama proses vaksinasi. Banyak individu transgender memilih untuk melakukan tes COVID-19 di rumah dan mendapatkan suplai hormon secara online untuk menghindari diskriminasi di layanan kesehatan.

Hal ini menunjukkan bahwa pelaku layanan kesehatan entah secara sadar atau tidak sadar telah menyebabkan kesulitan terhadap individu transgender dalam mendapatkan layanan kesehatan. Meski begitu, penelitian ini menemukan adanya inisiatif pemerintah untuk menyederhanakan isi KTP. Seperti pada unsur nama, membantu distribusi vaksin, sebab ini memperkecil kemungkinan deadnaming dan misgendering.

Penelitian ini menyoroti kebutuhan mendesak akan perubahan sosial untuk melawan diskriminasi. Harapannya studi ini dapat berkontribusi pada pemahaman bahwa diskriminasi tidak seharusnya terjadi pada manusia, terlepas dari keberagaman gender mereka. Melalui upaya kolaboratif dengan pemerintah, LSM, dan aktivis, peningkatan dapat dilakukan dalam akses kesehatan, layanan sosial, dan pengakuan hak-hak transgender sebagai bagian integral dari hak asasi manusia. Penelitian ini juga merupakan sebuah panggilan untuk tindakan lebih inklusif dalam kebijakan dan praktik yang mengakui hak-hak dan kesejahteraan individu termasuk transgender di Indonesia.

Penulis: Sayf M. Alaydrus, Azzah K. Budianto, Myrtati D. Artaria, Charanjit Kaur, & Maciej Henneberg

Link artikel: https://jmb.lipi.go.id/jmb/article/view/2154