Universitas Airlangga Official Website

Sumpah Pemuda, Ilmu Humaniora dan Integrasi Indonesia

Ilustrasi by detikcom

Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati peristiwa sumpah pemuda yaitu fondasi persatuan indonesia. Walaupun lahirnya Pancasila dan UUD 1945 di tahun 1945 telah umum dianggap sebagai tonggak persatuan Indonesia, tetapi sesungguhnya cikal bakal persatuan Indonesia adalah lahirnya sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928. Di masa itu, pada 27-28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah dan suku di Indonesia melakukan Kongres Pemuda II di Jakarta, dan tanggal 28 Oktober para pemuda mengikrarkan tiga hal, yaitu: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.

Lantas, setelah Indonesia memperingati 95 tahun sumpah pemuda dan menginjak usia 78 tahun kemerdekaan, apakah nilai persatuan yang menjadi jiwa sumpah pemuda sudah sungguh diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Kiranya belum. Indikasinya dapat dilihat pada kenyataan seperti: kecurigaan yang bermuatan sikap negatif terhadap orang atau kelompok dari identitas berbeda masih terjadi, kelompok keagaaman atau kepercayaan tertentu masih ada yang belum bisa melaksanakan hak keyakinannya secara penuh karena mendapatkan intimidasi dan diskriminasi, dan menguatnya politik identitas dalam beragam bentuknya yang mengancam integrasi bangsa.

Peran Ilmu-ilmu humaniora

Melihat kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum sungguh mewujudkan spirit persatuan sumpah pemuda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadi penting untuk menilik cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang terdiri atas kelompok identitas beragam, dengan tujuan akhirnya adalah integrasi bangsa Indonesia terus terpancang kuat. Terkait keperluan ini, gagasan Soedjatmoko (1922-1989) dalam karyanya The Humanities and Development (1986) menjadi penting untuk dikunjungi.

Soedjatmoko dalam karyanya itu menguraikan tentang potensi kontribusi dari ilmu-ilmu humaniora seperti sastra dan seni terhadap pembangunan bangsa, terlebih khusus dalam kepentingan pembangunan integrasi Indonesia. Secara lebih konkret, Soedjatmoko menyoroti lembaga pendidikan di mana ia menganjurkan agar cerita rakyat lokal dan pantun lokal dari daerah-daerah di Indonesia diajarkan secara cukup di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Begitu juga lagu dan tarian dari daerah-daerah di Indonesia. Tujuannya adalah agar peserta didik di Indonesia memiliki pengetahuan lintas batas terkait identitas dari kelompok yang beragam di Indonesia dan memiliki keterhubungan secara psikologis dengan kelompok identitas yang beragam di Indonesia.

Dalam kurikulum pendidikan di Indonesia sendiri selama ini, telah ada pelajaran Mulok (muatan lokal) yang di antara yang lain berisi ajaran tentang sastra dan seni lokal dari daerah yang menjadi tempat di mana suatu sekolah berada. Kiranya, pekerjaan rumah yang masih perlu diperbaiki dalam desain pembelajaran Mulok dalam praktik pendidikan di Indonesia adalah meningkatkan intensitas pengajaran sastra dan seni lokal dari daerah lain kepada peserta didik. Melalui pengetahuan tentang identitas kelompok lain dan keterhubungan secara psikologis dengan kelompok lain, yang dijembatani oleh pengajaran sastra dan seni lokal di lembaga pendidikan itu, diyakini masalah semisal kecurigaan yang berisi sikap negatif terhadap orang atau kelompok yang berbeda identitas dapat pelan-pelan memudar.

Relevansi historis

Apa yang dianjurkan oleh Soedjatmoko di atas sebenarnya bukan hal baru. Yudi Latif dalam artikelnya di Harian Kompas (28/10/2017) berjudul “Respons Idealisme Muda”, menjelaskan tentang peran pers vernakular dalam meningkatkan kesadaran kebangsaan masyarakat Indonesia di awal abad ke-20. Kesadaran kebangsaan yang diperlukan untuk memupuk persatuan dari masyarakat Indonesia yang beragam dan yang adalah modal yang sangat diperlukan dalam memperjuangkan kemerdekaan. Kala itu, lalu lintas ide yang terwadahi melalui pers-pers vernakular membuat masyarakat Indonesia yang terdiri dari identitas beragam dapat terhubung secara batiniah walaupun mereka tidak pernah bertemu secara fisik. Kesamaan dari pandangan Soedjatmoko dan Yudi Latif terletak pada pentingnya dunia ide dalam menciptakan integrasi Indonesia. Dalam bahasa ilmu sosial secara umum, dan sosiologi secara khusus, ini biasa disebut dengan peran faktor kultural dalam mewujudkan kemajuan sosial.

Akan tetapi, satu hal perlu diperhatikan di sini. Integrasi bangsa yang dihasilkan oleh perhatian terhadap faktor kultural akan menjadi semakin solid apabila ia disokong pula oleh perhatian terhadap faktor struktural. Faktor struktural di sini berurusan dengan kesejahteraan rakyat. Tugas pemerintah dalam memenuhi secara serius kebutuhan perumahan, kesehatan, dan pendidikan yang layak dari rakyat adalah bentuk perhatian terhadap faktor struktural dari kehidupan rakyat. Melalui perhatian terhadap faktor struktural itu, ancaman disintegrasi bangsa yang disebabkan oleh masalah semacam ketidakadilan ekonomi dapat dihindari.

Semoga peringatan sumpah pemuda yang ke-95 di tahun 2023 membuat bangsa Indonesia semakin mengamalkan spirit persatuan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi dalam situasi menjelang Pemilu di 14 Februari 2024, spirit persatuan inilah yang harus menjiwai kontestasi di antara aktor-aktor politik yang terlibat Pemilu.

Penulis: Ransis Raenputra, Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga