Universitas Airlangga Official Website

Awali Perkuliahan, FIB UNAIR Gelar Kuliah Umum Bersama Sastrawan

Afrizal Malna saat memaparkan materi. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar kuliah umum bertajuk Pandemi Sejarah dan Pasca-Masa Depan pada Senin, (30/01/2023). Kegiatan tersebut mengundang sastrawan Afrizal Malna sebagai pemateri. 

Pada kesempatan tersebut, Afrizal menyampaikan bahwa seorang filsuf bernama Ellis McTaggart membagi dua metode dalam melihat masa depan. Pertama, Waktu Seri-B yaitu cara melihat masa depan melalui titik-titik pemetaan. Waktu yang dilihat sebagai titik-titik peta dari atas di masa lalu, masa kini, dan masa depan hanyalah rangkaian titik-titik seperti peta.

Kedua, Waktu Seri-A yaitu waktu yang manusia alami sehari-hari sebagai waktu linier, di mana masa kini memisahkan masa lalu dan masa depan. Dalam waktu Seri-B, masa kini tidak sepenting dalam waktu Seri A. Manusia memiliki titik tatapan lebih berjarak dalam melihat peta sejarah dan melihat kembali pengetahuan apa yang bisa diproduksi dari tatapan ini. 

“Kalau kita memandang waktu itu dari Seri-B, saya akan memulainya dari masa Cultuurstelsel karena menurut saya ini masa yang menarik, masa yang terus-menerus menggoda, dan masa yang paling banyak mengubah kita. Karena pada masa inilah pemerintah Hindia-Belanda membangun infrastruktur modern di dalam lingkungan kolonial,” ungkap penulis buku Proposal Berlin itu.

Afrizal menjelaskan bahwa van den Bosch ingin menciptakan koloni pertanian tanpa kemiskinan melalui sistem Cultuurstelsel pada saat itu. Namun dalam konstruksi sejarah Indonesia, Cultuurstelsel atau tanam paksa dianggap sebagai sejarah paling kejam. 

“van den Bosch pernah berpendapat, jangan pernah lupa bahwa secara intelektual, orang Jawa tidak berkembang lebih baik daripada anak-anak Belanda yang berumur 12 atau 13 tahun. Kemudian, 100 tahun setelah itu, sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan hal yang hampir sama seperti van den Bosch. Ia berpendapat, otak orang Indonesia harus mengasah menyamai Barat,” ungkapnya.

Sistem Cultuurstelsel menurut Pandangan Wallace

Kemudian, ia menuturkan jika kita melihat sistem tanam paksa dari sudut pandang Alfred Russel Wallace, seorang peneliti sekaligus pencipta garis Wallace maka kita akan melihat perspektif yang berbeda. Wallace justru memandang sistem Belanda jauh lebih baik dari sistem Inggris untuk koloninya. 

Menurut Wallace, kegagalan sistem tanam paksa justru terjadi di lapisan pribumi yang disebabkan oleh bupati. Di mana mereka bisa memaksa rakyatnya untuk bekerja keras, ladang tidak terurus, kelaparan, dan mati. Bagian pemerintah pribumi inilah yang melakukan korupsi. Menurut Wallace, budaya korupsi justru sudah ada jauh sebelum Hindia-Belanda dan untuk menghapusnya tidak mudah. 

“Di antara kasus korupsi di Indonesia, kita lebih banyak sibuk ngomongin hukuman apa, tapi kita tidak pernah mengurus kenapa kita punya akar korupsi yang jalang? Bagaimana memotong akar ini? Kenapa kita lebih mengurus hukumnya sementara akarnya tidak? Sementara menurut Wallace sendiri, akarnya jauh sebelum pemerintahan Hindia-Belanda sehingga tanam paksa gagal,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kebanyakan dari orang Indonesia telah terjebak dalam sejarah biner yaitu dualisme sejarah antara menjajah dan dijajah. Bagaimana orang Indonesia melihat tanam paksa itu kejam, sementara menurut pandangan Wallace sistem tanam paksa adalah hal yang paling memungkinkan pada saat itu. 

“Karena kalau dulu berlaku sistem pasar bebas, pribumi tidak bisa menghadapi negara-negara yang lebih kuat dan akan terperangkap dalam konsumerisme. Dan itu sampai sekarang berlangsung, bagaimana negara kita selalu bergantung pada utang internasional. Sementara, sebagian rakyat kita juga tidak bisa keluar dari proyek cicilan rumah, pernikahan, mobil. Ini salah satu ledakan itu,” jelasnya. 

Selain menjelaskan pandemi sejarah sistem Cultuurstelsel, Afrizal juga menjelaskan beberapa potret lain tentang fenomena ledakan sejarah biner, arus yang mulai menyimpang, dan memotong sejarah sebagai metode masa depan. 

“Adakah titik temu antara Waktu Seri-A dengan Waktu Seri-B? Sebuah pasca-masa depan. Sebuah jeda kosmik. Sebuah ruang alternatif di mana kreatifitas mendapatkan ruangnya,” pungkasnya. (*)

Penulis: Rafli Noer Khairam

Editor: Binti Q. Masruroh