Perkembangan teknologi digital memang tak bisa dipungkiri akan dirasakan semua elemen masyarakat baik tua atau muda. Namun, dampak yang mendalam dirasakan ketika masyarakat menghadapi era digital 4.0. Dikutip dari laman Forbes, revolusi industri 4.0 yakni adanya ikut campur sistem cerdas dan otomatis dalam dunia industri. Teknologi yang mempelopori adalah machine learning dan AI.
Contoh lebih sederhana yang bisa kita temui adalah sosial media “pintar” yang dapat memenuhi hasrat keingintahuan kita dengan melacak riwayat penelusuran search engine menggunakan sistem AI. Tentu hal ini menjadi suatu yang menarik karena seakan akan dunia berada di genggaman dalam sekali “klik”.
Merujuk pada laporan dari perusahaan analitik pasar mobile, orang Indonesia mengakses smartphone rata-rata 6 jam sehari. Bisa dibayangkan manusia Indonesia bisa menghabiskan waktu 180 jam atau sekitar 7 hari dalam sebulan hanya untuk bermain gawai.
Masyarakat yang harusnya bisa melakukan aktivitas produktif, dipergunakan untuk mengakses smartphone dan betah duduk berlama lama hanya untuk sekedar mencari barang online yang dijual e-commerce ataupun menunjukkan eksistensi diri.
Lahirnya Generasi Apatis
Perkembangan teknologi tanpa sadar menciptakan masyarakat apatis yang sangat senang “bermain” dengan ponselnya sendiri. Bahkan mungkin, banyak sekali ditemui remaja-remaja yang tidak lupa membawa smartphone namun lupa untuk berpamitan dengan orang tua.
Fenomena yang sering ditemui juga, bahwa teknologi yang pesat juga berimbas pada tumbuh kembang anak-anak usia 2-5 tahun. Tayangan kartun dan hiburan anak-anak mudah sekali untuk di akses di era ini. Sering kali, para orang tua yang tidak mau “ribet” dengan rengekan anak membuat smartphone sebagai hadiah yang sangat dinanti.
Tentu ada dampak yang sangat terasa misalnya saja anak susah fokus dan susah untuk bersosialisasi. Lebih parahnya keterlambatan balita dalam berbicara salah satu faktornya adalah gadget. Terlebih lagi, anak-anak yang sudah merasakan dampak penggunakan gadget mempunyai sifat agresif jika keinginannya tidak terpenuhi dan apatis terhadap apa yang terjadi di lingkungannya.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi akan semakin pesat dan anak-anak akan tumbuh dewasa dengan sifat-sifat kurang empati dan fobia akan kehidupan sosial. Terlebih lagi usia remaja yang biasanya mempunyai psikologis rentan karena di tahap ini mereka sedang mencari jati dirinya. Nantinya akan timbul perasaan gelisah, sendirian dan depresi yang semuanya akan mereka luapkan di sosial media.
Tak heran jika ujaran kebencian, saling menghina, mental yang terdegradasi terus menerus bergaung di sosial media. Dari satu yang melontarkan, akhirnya berbuah komentar yang bermacam macam yang bisa saja memperkeruh pikiran dan tidak memberikan solusi. Alhasil belakangan ini banyak sekali kasus bunuh diri dan kekerasan fisik karena “terinspirasi” dari platform digital tersebut.
Pada akhirnya, ketidakpedulian merupakan fenomena yang wajar terjadi terutama untuk generasi muda. Tiada rasa peduli dan kekeluargaan yang timbul sebab anak sudah didoktrin bahwa smartphone bisa memberikan apapun yang ia mau tanpa perlu manusia lainnya.
Sebelum Masa Generasi Milenial dan Teknologi
Setali tiga uang dengan generasi muda, generasi baby boomers juga menghadapi simalakama akan perkembangan teknologi. Orang-orang tua yang “melek” teknologi akan semakin penasaran dan mencoba untuk mendalami teknologi terbaru yang ada di tangan. Budaya untuk makan bersama masakan ibu di meja makan, sedikit demi sedikit akan terkikis sebab sang ibu sudah mengetahui dan memanfaatkan kemudahan teknologi dalam pengiriman makanan.
Dikutip dari laman kominfo.go.id bahwa generasi yang sering terpapar hoaks rentang usianya berkisar 45 tahun keatas. Tak hanya terpapar, tapi mereka juga mempunyai andil dalam persebaran informasi hoaks yang disebabkan karena generasi baby boomers mempunyai kecenderungan menelan informasi mentah-mentah.
Namun uniknya, menurut National Cybersecurity Alliance, faktanya sebanyak 79% generasi ini mengatakan jarang menjadi korban cyber crime. Di sisi lain, generasi yang rentang terkena kejahatan dunia maya adalah kaum gen Z. Hal tersebut terjadi, karena generasi baby boomers tidak mau mengambil resiko untuk menginstall suatu aplikasi dan mempelajari lagi.
Sebab yang dibutuhkan dari smartphone adalah bisa berkomunikasi dengan baik.Sedangkan gen Z, lebih banyak menghabiskan waktunya di depan layer handphone dan mempunyai keingintahuan berlebih terhadap sesuatu hal yang baru.
Perlunya Pengetahuan dan Batasan yang Sesuai
Terlepas dari semua itu, perkembangan teknologi merupakan anugerah luar biasa. Hanya saja kita sebagai manusia dihapkan dengan sebuah pilihan untuk tetap memanfaatkan dan memberi batasan diri dalam penggunaan teknologi digital.
Perlunya pemahaman untuk setiap generasi dalam menggunakan dan mencegah kejahatan teknologi harus selalu digalakkan oleh pemerintah dengan cara banyak memberikan informasi yang berkaitan dengan hal tersebut. Tentunya ini sangat berguna demi keamanan manusia Indonesia baik dari segi materil atau psikis.
Peran orang tua juga sangat menentukan karakter anak dalam menggunakan teknologi sehingga mereka tumbuh dan berkembang bersama teknologi tanpa melupakan azas bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Penulis: Firdaus Sinta Maulina S.Tr.Com
IT Support Pusat Komunikasi dan Informasi Publik Universitas Airlangga