Berdasarkan peraturan Komisi Penyiaran Indonesia UU 32 tahun 2002 tentang Undang-Undang Penyiaran menyatakan bahwa secara administratif, KPI atau Komisi Penyiaran Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya sebagai lembaga negara menurut keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) tentang penyiaran. Dengan kewenangan yang independen, KPI memiliki peran penuh menjalankan kedudukannya dan fungsi self regulator untuk adaptif melakukan pengawasan penyiaran di Indonesia, terutama pengawasan terhadap penyiaran TV dan radio.
Anggapan masyarakat kepada KPI seringkali salah. Masyarakat sering menilai KPI sebagai lembaga sensor film atau LSF, padahal dua lembaga tersebut berbeda. Pengaruh dari dua lembaga tersebut adalah memberikan pengaruh akulturasi budaya sebagai dasar hukum dari UU Penyiaran dan UU Perfilman sebagai bentuk teguran kepada pelanggar.
KPI juga punya peran membentuk P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran). Pembentukan P3SPS tidak lain karena kritik dan dukungan beberapa elemen di masyarakat dalam memberikan pandangan dan pengarahan kepada KPI. Kolaborasi yang terjadi antara masyarakat, praktisi penyiaran, dan akademisi membentuk revisi Undang-Undang terbaru mengenai penyiaran yang merupakan representasi hasil diskusi bersama. Contoh pada P3SPS tahun 2011 memuat peraturan tentang siaran layanan publik dan sanksi denda. Pengklasifikasian biasanya berdasar siaran anak, siaran iklan, siaran jurnalistik dan non jurnalistik, muatan lokal dalam konteks sistem jaringan.
Berbeda dengan industri perfilman, subsektor televisi dan radio keberadaannya lebih luas dan bertanggung jawab secara andil dalam menyebarkan informasi positif ke masyarakat. Oleh karena itu, bukti pemerintah untuk mewujudkan penyiaran yang edukatif adalah dengan konsisten memberikan tontonan yang informatif melalui stasiun televisi TVRI dan radio RRI yang pemerintah keloloa sendiri.
Revisi UU Penyiaran
Revisi UU Penyiaran saat ini adalah bentuk penyesuaian dari adanya tantangan transformasi digital. Perubahan tontonan dan model konsumsi masyarakat, serta model bisnis, menyebabkan orang bebas mengakses informasi dan mencari peruntungan dari bisnis ini. Banyak kita temui influencer, youtuber, dan pekerja kreatif lainnya yang muncul sejak adanya internet. Pengaruh ini ternyata cukup menjanjikan sebagai profesi baru, perubahan bisnis tersebut, memberikan model baru dalam strategi bisnis, pemasaran, dan karir di industri kreatif.Â
Sampai saat ini, keberadaan televisi dan radio masih menjadi media alternatif masyarakat yang belum beralih ke media streaming dan OTT. Aduan mengenai OTT dari masyarakat semakin meluas karena bebasnya akses layanan digital sehingga perlu ada regulasi dan revisi yang baru. Menurut Ubaidillah, selaku ketua KPI 2022-2025 menyampaikan bahwa penting memiliki pembanding data seperti yang terdapat di negara lain, untuk mengukur revisi UU Penyiaran.Â
Secara interpretasi, media merupakan industri yang berkembang di sosial masyarakat. Media memiliki manajemen dan inovasi untuk memberikan kemudahan dengan mengganti peran dari sumber daya manusia. Media juga dapat menjadi pengembangan budaya, yang memiliki landasan nilai-nilai norma. Pengaruh media yang kuat dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu ada regulasi dalam mengkaji media di Indonesia.Â
Secara interpretasi, OTT terdiri atas layanan popular seperti Netflix, Amazon, Prime Video, Disney+, Hulu, Youtube, Spotify, dan lain sebagainya. Penawaran yang OTT tawarkan adalah akses mudah dengan sistem langganan berbayar. Keuntungan OTT tersebut memberikan fleksibilitas ke masyarakat sebagai user atau pengguna atas kebutuhan dan minat konten, tanpa iklan serta gangguan. Persaingan yang ketat akhirnya mempengaruhi eksistensi dan reputasi TV kabel serta stasiun televisi lainnya yang mulai menunjukkan ketertarikannya di OTT.
OTT dan Transformasi Digital
Transformasi digital dalam rancangannya tidak selalu berjalan sesuai rencana. OTT selalu mempertimbangkan kualitas dan pelayanan dari konsumen. Penggunaan OTT membutuhkan sinyal internet, sehingga akses, biaya, dan persaingan antara OTT menjadi bagian dari pemasaran dan pengembangan bisnis tersebut. Internet merupakan adaptasi pembaruan tidak konservatif terhadap tantangan industri saat ini. Aplikasi, platform atau website yang bertebaran tentu mempermudah masyarakat dalam mencari kebutuhan relevansi dan praktis sesuai industri 5.0.Â
Istilah streaming 4K, realitas virtual, kecerdasan buatan atau AI sedang dan terus akan bertumbuh dan berkembang di masa mendatang. Hal ini juga akan mempengaruhi cara kerja media streaming nantinya. Kemunculan AI yang sudah banyak terdapat di berbagai platform atau website pada dasarnya menjadi perhatian pemerintah dalam berkolaborasi membuat konten kreatif dan edukatif bentuk digital untuk masyarakat. Di sisi lain, dirancangnya sebuah revisi UU penyiaran, memberikan penyesuaian kebijakan baru terhadap isu permasalahan yang ada.Â
Seperti dalam Pasal 17 Ayat 2 revisi UU Penyiaran menyatakan bahwa media penyelenggara mewajibkan untuk memberikan tayangan konten lokal sebesar 30%. Pasal 32 Ayat 2 mewajibkan penyediaan konten berbayar. Pasal 32 Ayat 3 mewajibkan mencantumkan logo dan identitas dalam tayangan konten lokal. Pada Pasal 46, lembaga penyiaran memberikan hak kepada film yang ada di bioskop untuk ditayangkan di OTT setelah 30 hari penayangan.Â
Berdasarkan informasi tersebut, ada upaya penguatan dan penanganan pada peran lembaga KPI. Hal itu KPI lakukan untuk berbenah, dalam segi hukum, struktur lembaga, dan perangkat penunjang kinerja dan peran di KPI. Pembuat film serta stakeholder terlibat karena pengaruhnya dalam revisi UU Penyiaran. Pasal 2 tentang ekonomi kreatif membahas lingkup pengaturan tentang fasilitas, infrastruktur dan insentif untuk para pelaku ekonomi kreatif. Insentif dan hak kekayaan intelektual menjadi hal penting selanjutnya sebagai bentuk dukungan pada keberlangsungan industri kreatif seperti perfilman di Indonesia. Sebagai konsumen, hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah mendukung industri film lokal yang bagus dan mempromosikan film lokal tersebut.
Penulis: ILSA NABILA
BACA JUGA: Permasalahan Pendidikan Tenaga Kerja di Industri Film