Universitas Airlangga Official Website

Bagaimana Pengaruh CEO terhadap Penghindaran Pajak di Perusahaan Manufaktur Indonesia

Ilustrasi pegawai perusahaan. (Sumber: https://info.myrobin.id/)

Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Dalam realisasi APBN 2019, penerimaan pajak mencapai 78,9% atau sekitar 1545,3 triliun rupiah dari total pendapatan sebesar 1957,2 triliun rupiah. Pajak ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. Namun, pemungutan pajak seringkali menemui kendala karena perbedaan pandangan antara pemerintah dan perusahaan. Pemerintah berusaha memaksimalkan penerimaan pajak, sementara perusahaan berusaha meminimalkan pembayaran pajak karena dianggap sebagai beban yang mengurangi laba bersih perusahaan.

Salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mengurangi beban pajak adalah melalui penghindaran pajak (tax avoidance). Penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah dalam ketentuan perpajakan yang tidak melanggar undang-undang namun dapat mengurangi kewajiban pajak perusahaan. Meskipun legal, tax avoidance dapat mengakibatkan kerugian bagi pemerintah karena menurunkan penerimaan negara. Data dari laporan Tax Justice Network 2020 menunjukkan bahwa Indonesia mengalami kerugian sebesar 67,6 triliun rupiah akibat penghindaran pajak korporasi.
Dalam konteks persaingan bisnis yang semakin kompetitif, perusahaan membutuhkan strategi yang tepat untuk mengelola risiko dan mempertahankan keberlanjutan perusahaan. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam strategi penghindaran pajak adalah peran eksekutif puncak, terutama Chief Executive Officer (CEO). CEO memiliki tanggung jawab besar dalam menentukan kebijakan perusahaan, termasuk strategi perpajakan.

CEO power merujuk pada kekuatan atau kekuasaan CEO dalam mengambil keputusan strategis yang berdampak pada perusahaan. Finkelstein (1992) mengklasifikasikan CEO power menjadi empat kategori: ownership power (kepemilikan saham), structural power (jabatan formal), expert power (keahlian), dan prestige power (koneksi sosial). Dalam penelitian ini, hanya tiga kategori yang digunakan: ownership power, expert power, dan prestige power, karena structural power tidak relevan dalam konteks sistem two-tier yang diterapkan di Indonesia.

Expert Power diukur berdasarkan masa jabatan CEO (CEO tenure). Semakin lama masa jabatan, semakin banyak pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki CEO, yang meningkatkan kemampuan mereka dalam mengambil keputusan strategis, termasuk penghindaran pajak. Prestige Power diukur berdasarkan tingkat pendidikan CEO (CEO education). CEO dengan pendidikan tinggi cenderung lebih rasional dan berhati-hati dalam mengambil risiko, termasuk dalam hal perpajakan. Ownership Power diukur berdasarkan kepemilikan saham CEO (CEO ownership). CEO yang memiliki saham di perusahaan cenderung bertindak demi kepentingan perusahaan dan pemegang saham.

Berdasarkan hal tersebut, Zunianto, dkk. (2024) melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan kuantitatif pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2015-2019 sebagai sampel. Sampel dipilih menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria tertentu. Data yang digunakan adalah laporan keuangan tahunan perusahaan yang diperoleh dari situs resmi Bursa Efek Indonesia. Analisis statistik deskriptif menunjukkan bahwa rata-rata CEO tenure adalah 123 bulan, dengan nilai minimum 2 bulan dan maksimum 576 bulan. CEO education menunjukkan bahwa 31,6% CEO memiliki pendidikan setara dengan gelar master atau lebih, sementara sisanya memiliki pendidikan di bawah gelar master. Rata-rata kepemilikan saham CEO adalah 2,03%.

Uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa CEO tenure memiliki hubungan positif dengan tax avoidance yang diukur dengan CETR, sementara CEO education memiliki hubungan positif dengan tax avoidance yang diukur dengan ETR. CEO ownership tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan tax avoidance. Variabel kontrol seperti profitabilitas (ROA) dan leverage (LEV) juga menunjukkan hubungan signifikan dengan tax avoidance. Analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa CEO expert power (diukur dengan CEO tenure) dan CEO prestige power (diukur dengan CEO education) berhubungan positif dengan tax avoidance. Sebaliknya, CEO ownership power berhubungan negatif dengan tax avoidance. Hasil ini konsisten dengan teori yang mendasari bahwa CEO dengan masa jabatan lebih lama dan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih berani mengambil risiko, termasuk dalam strategi penghindaran pajak.

Penelitian tersebut membuktikan secara empiris bahwa CEO power berpengaruh signifikan terhadap penghindaran pajak di perusahaan manufaktur di Indonesia. CEO expert power dan prestige power berhubungan positif dengan tax avoidance, sementara CEO ownership power berhubungan negatif. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi teoretis dan praktis yang berguna bagi perusahaan dan pemerintah dalam merumuskan kebijakan perpajakan. Penelitian ini juga memiliki keterbatasan, seperti penggunaan data sekunder dan fokus pada perusahaan manufaktur. Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan memperluas sampel ke sektor lain dan menggunakan metode penelitian yang berbeda untuk memperkuat temuan ini.
Dari segi implikasi praktis, penelitian tersebut memberikan manfaat praktis yang signifikan bagi praktik bisnis dan pembuatan kebijakan, terutama dalam konteks penghindaran pajak dan manajemen perusahaan. Direktorat Jenderal Pajak dapat memperkuat kebijakan dan regulasi perpajakan dengan memahami pengaruh kekuasaan CEO terhadap penghindaran pajak.

Perusahaan dapat memanfaatkan temuan ini untuk mengembangkan strategi rekrutmen dan pengembangan CEO yang mendorong kepatuhan pajak, serta memperkuat sistem pengawasan dan tata kelola perusahaan. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam laporan keuangan dan pajak, serta implementasi audit internal yang ketat, akan membantu perusahaan menghindari sanksi dan menjaga reputasi. Komunikasi yang baik dengan pemegang saham mengenai kebijakan perpajakan dan tanggung jawab sosial perusahaan akan meningkatkan kepercayaan dan citra positif perusahaan. Dengan demikian, perusahaan yang patuh terhadap peraturan perpajakan dapat menggunakan kepatuhan ini sebagai nilai tambah dalam branding dan marketing, serta mengelola risiko yang terkait dengan penghindaran pajak, memastikan keberlanjutan bisnis jangka panjang.

Sumber: https://journal.perbanas.ac.id/index.php/tiar/article/view/3700

Penulis: Niluh Putu Dian Rosalina Handayani Narsa, S.A., M.Sc.