Universitas Airlangga Official Website

Deteksi Dini Infeksi Myxosporea pada Ikan Nila Budidaya Melalui Pemeriksaan Histomorfologi

Foto by detikFood

Filum Myxozoa seluruhnya terdiri dari endoparasit, termasuk beberapa yang menyebabkan penyakit yang berdampak signifikan pada budidaya dan perikanan di seluruh dunia [Kent dkk., 2001]. Infeksi Myxzosporean terjadi di berbagai ikan laut dan spesies ikan air tawar. Beberapa studi memfokuskan pentingnya spesies myxzosporean yang terkait dengan keadaan patologi yang ditimbulkan dalam budidaya laut [Alvarez-Pellitero dkk., 1995] dan budidaya air tawar [El-Matbouli dkk., 1992]. Sekitar 2200 spesies myxosporean sejauh ini telah dilaporkan di seluruh dunia, dengan  keanekaragaman spesies yang tinggi [Lom dan Dyková, 2006]. Infeksi yang ditimbulkan dikenal dengan nama myxosporidiosis merupakan salah satu infeksi atau penyakit  yang umum pada ikan. Sekitar 85 spesies myxosporean sejauh ini telah dideskripsikan dalam jaringan dan organ yang berbeda yang umum terjadi pada ikan [Kent dkk., 2001].


Sejauh ini  di Indonesia, beberapa jenis myxosporeans pada ikan air tawar belum pernah diteliti, sehingga keanekaragaman spesies myxosporeans belum banyak terungkap. Kurangnya penyelidikan secara komprehensif terhadap penyakit yang ditemui dalam sistem budidaya telah mengakibatkan diagnosis kelompok spesies parasit ini yang menyebabkan penyakit menjadi kurang fokus, dengan demikian, rincian penyakit selanjutnya ditemui dalam sistem berbudaya dibahas di bawah pengelompokan taksonomi genus, bukan di tingkat spesies. Ikan air tawar budidaya banyak dibudidayakan di kota Surabaya dimana ikan nila merupakan jenis ikan yang banyak dipelihara, kabarnya ikan tersebut mencapai produksi tahunan sekitar 16,6 juta kilogram [BPS Jatim, 2014]. Selama ini, tidak ada spesies myxosporean yang telah tercatat menginfeksi di tambak ikan air tawar di Surabaya kecuali adanya kasus kematian massal ikan lele (Clarias gariepinus) di Blitar pada tahun 2013 yang setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi ditemukan banyak Myxosporean dari kelompok Enteromyxum sp. di jaringan usus [Julianto, 2014]. Pasca kasus kematian massal ikan lele belum diteliti lebih lanjut terkait kemungkinan penyebaran infeksinya melalui perdagangan dan lalu lintas komoditas ikan air tawar mengingat Blitar merupakan daerah yang tidak jauh dari kota Surabaya. Di sisi lain, infeksi parasit myxosporean dapat terjadi dengan berbagai cara, meskipun infeksi parasit seringkali terjadi tanpa gejala. Oleh karena itu dilakukan deteksi dini dan determinasi infeksi myxosporean pada ikan air tawar seperti ikan nila penting dan merupakan langkah strategis dalam pengendalian dini terutama infeksi tanpa gejala.


Dalam penelitian ini, kami memeriksa parasit myxosporean pada ikan nila budidaya di beberapa budidaya di Surabaya dalam rangka mendeteksi dan memperkaya pengetahuan kita tentang keanekaragaman parasit myxosporean melalui pemeriksaan histomorfologi. Ikan nila hidup dari budidaya Surabaya dipindahkan ke laboratorium Parasitologi secepatnya dan dilakukan nekropsi serta diisolasi beberapa organ dalam usus. Kemudian dibuat preparat histologi dari jaringan usus untuk pemeriksaan histologi dengan pewarnaan HE. Myxozoan Enteromyxum sp., suatu stadium dari myxozoan tak dikenal yang teramati melekat pada mukosa usus beberapa ikan. Tingkat infeksi parasit, yang dikenal dengan “epitel myxosporean” ditemukan, parasit itu diamati hanya pada posisi epi-epitel pada mukosa usus dan tidak pernah pada jaringan lain yang diteliti.

Tidak ada gejala klinis yang teramati pada semua sampel dari beberapa budidaya ikan nila di Surabaya. Parasit ini bertahan dalam tubuh ikan sebagai infeksi subklinis (enzootik) rendah dan menjadi infeksi klinis epizootik ketika ikan stres akibat praktik manajemen yang buruk (misalnya pakan yang buruk, populasi ikan yang padat dan sanitasi yang buruk). Pada penelitian ini terbukti bahwa sampel ikan nila tidak menunjukkan gejala klinis infeksi myxosporean, tetapi parasit dapat dideteksi dan ditentukan berdasarkan pemeriksaan histomorfologi. Kondisi ini bisa mencerminkan dua kemungkinan, pertama status infeksi masih subklinis dan kedua induk semang kebal terhadap reinfeksi karena telah terinfeksi sebelumnya. Setelah diseksi dan dilakukan pemeriksaaan histomorfologi insang, dan beberapa organ dalam seperti hati dan limpa tidak ditemukan kelompok parasit myxosporean ini, namun pada usus ditemukan myxosporean usus (Enteromyxum sp.) pada hampir semua ikan nila yang dibudidayakan di Surabaya.

Salah satu faktor yang dapat memicu keberadaan Enteromyxum sp. parasit ditemukan pada hampir semua ikan nila yang dibudidayakan di Surabaya adalah penularan spontan antar ikan yang terjadi di alam, penularan langsung dari ikan ke ikan antar beberapa spesies ikan telah dicapai dengan kohabitasi, tertelan sampai ke mukosa usus melalui air yang tercemar parasit. Tampak parasit Enteromyxum sp. melekat pada permukaan mukosa usus, bahkan ada beberapa parasit yang berkembang sampai masuk ke lapisan yang lebih dalam. Parasit myxozoan ini menginfeksi saluran usus ikan dan terkadang organ terkait seperti kantong empedu dan hati. Berbeda dengan kompleks siklus hidup heteroxenous seperti yang diketahui pada sekitar 50 spesies myxozoan, transmisi spontan dari ikan ke ikan telah terjadi dan didemonstrasikan pada 2 spesies dalam genus: E. leei dan E. scophthalmi [Sitjà-Bobadilla dkk., 2007]. Faktor lain yang memudahkan terjadinya Enteromyxum sp. infeksi pada budidaya ikan nila di Surabaya adalah suhu. Surabaya merupakan kota dengan suhu yang relatif tinggi dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia yang terletak di pantai utara Laut Jawa, membuat suhu kota ini tinggi sekitar 32oC sehingga infeksi Enteromyxum sp. mudah terjadi. Studi sebelumnya menunjukkan hubungan yang jelas antara prevalensi dan suhu air di infeksi Enteromyxum sp. Hasil penelitin ini mengkonfirmasi infeksi secara oral sebelumnya oleh E. fugu dan E. leei pada ikan rubripe Takifugu, di mana serangan penyakit ditekan oleh suhu air yang rendah < 20°C [Fleurance dkk., 2008]. Dalam studi tersebut juga mengkonfirmasi efek penghambatan suhu air rendah pada perkembangan enteromyxosis pada gilthead sea bream. Namun, ketika suhu air naik secara alami hingga 26 °C, infeksi dapat terjadi. Demikian pula, pada infeksi alami, prevalensi infeksi yang lebih tinggi ditemukan di usus besar daripada di bagian proksimal usus pada ikan tanpa gejala [Fleurance dkk., 2008]. Data lapangan dan eksperimen tampaknya menunjukkan bahwa usus dibagian distal adalah yang pertama dan lokasi yang menjadi  target utama parasit (E. leei) pada ikan gilthead air tawar [Estensoro dkk., 2010].

Hasil penelitian ini mengkonfirmasi bahwa infeksi parasit myxosporean merupakan infeksi yang belum tertangani dalam budidaya ikan. Ini karena sifat infeksinya, ada yang masih asimtomatik, sehingga sulit diprediksi dan diobati dengan baik. Studi sebelumnya melaporkan bahwa myxosporeans adalah masalah utama di Jawa Tengah (Indonesia). Parasit myxosporean memiliki keragaman induk semang yang luas. Karena parasit ini menular dari ikan ke ikan, infeksinya menyebar dengan cepat di budidaya ikan.

Penulis: Muchammad Yunus, Agus Sunarso, and Agus Wijaya

ARTIKEL ILMIAH POPULER dari artikel yang dipublikasikan pada: AIP Conference Proceedings 2513, 020018 (2022); https://doi.org/10.1063/5.0099210 dengan title

Early Detection and Determination of Myxosporea in Nile Tilapia Cultivation Through Histomorphological Examination

Link Artikel:

https://aip.scitation.org/doi/abs/10.1063/5.0099210