Tim Manila saat memaparkan materinya
Penulis: Jihan Rafifah
Hari kedua (11/2). Para peserta Southeast Asia Neighbourhoods Network 2.0: Communities of Learning, Research, and Teaching Collaborative (SEANNET Collective) 2023 balik ke rutinitas awal sebagai peneliti. Yaitu mencari permasalahan terkait perkembangan kota di Asia Tenggara yang menjadi fokus kajian.
Tak hanya mencari. Beberapa dari mereka, bahkan, sudah memikirkan pendekatan dan strategi yang sesuai. Ada juga yang tengah riset dan observasi. Serta, praktik terjun langsung di masing-masing lokasi penelitian.
Sesi ini dimulai oleh presentasi dari Tim Kampung Sereh Jayapura. Tim Kampung Sereh Jayapura menjelaskan tahap perencanaan penelitian telah mereka buat sejak tahun 2022 lalu, dengan mengambil Kampung Sereh menjadi fokus studi.
“Kampung Sereh itu sangat unik sekali. Banyak imigran yang datang membentuk komunitas dan menetap disana.” Ujar Albert Rumbekwan, peneliti dari Universitas Cenderawasih, yang menjadi salah satu anggota dari Tim Jayapura.
Terlebih, para imigran dari Eropa yang mau bekerja di daerah pedalaman. Mereka tertarik tinggal disana karena iklim yang hampir mirip. Kemudian, datang juga kelompok-kelompok lain dari berbagai etnis seperti Jawa dan Sumatera. “Sampai sekarang beberapa komunitas itu pun masih berkembang disana,” tambahnya.
Sementara, tim kedua membahas tentang perkembangan pendidikan. Tim Cambodia melihat bahwasannya, belajar bisa dilakukan di mana saja. Bahkan, di jalanan kampung yang terletak di Wat Chen Dam Daek, Phnom Penh, Cambodia.
Di sisi lain, Tim Manila menempatkan Escolta sebagai lokasi penelitian. Masalah Tunawisma, Bagaimana warga bertahan hidup, dan kebijakan dari lembaga-lembaga menjadi fokus penelitian. Berbagai aktivitas-aktivitas sosial juga mereka lakukan.
Tessa Maria Guazon, salah satu tim dari Manila bercerita, pernah ada acara masak-memasak dan beraneka lokakarya. “Dan Nathalie Dagmand, teman tim saya ini yang memandu langsung acara memasak itu,” paparnya.
Tessa menambahkan, Escolta punya sebutan yang menarik. Mereka menyebutnya, Namamangkete. Artinya, hidup di jalanan. Layaknya cara mereka bertahan hidup. Dan itu panggilan untuk hubungan mereka satu sama lain sebagai tetangga.