Universitas Airlangga Official Website

G20, Hegemoni, dan Spirit Tak Berpuas Diri

Ilustrasi oleh suaradewata.com

Sejak 31 Oktober 2021, saat Indonesia secara resmi menjadi Presidensi G20 atau menjadi tuan rumah perhelatan G20 untuk tahun 2022, ruang publik kita diramaikan oleh wacana bahwa Indonesia telah mencatat suatu prestasi. Komunikasi publik pemerintah, pemberitaan media dan, terlebih khusus lagi, pembentukan narasi oleh para influencer dan buzzer, memberi pesan bahwa Indonesia telah mendapat kepercayaan besar dan kehormatan besar dari dunia internasional. Benarkah demikian?

Sesungguhnya, apabila dicermati lebih mendalam, posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 adalah suatu giliran. Sebagai salah negara yang tergabung dalam G20, Indonesia sedang mendapat giliran untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan KTT G20 di tahun 2022. Sejak tahun 2008, ketika pertemuan G20 tidak lagi hanya melibatkan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari negara anggota G20 (sebagaimana biasanya sejak G20 berdiri tahun 1999) tetapi juga melibatkan Kepala Negara dari negara anggota G20, negara yang menjadi Presidensi G20 bergantian setiap tahun.

Giliran Indonesia menjadi Presidensi G20 sudah ditetapkan saat KTT G20 di Riyadh, Arab Saudi tahun 2020. Giliran negara yang akan menjadi Presidensi G20 untuk tahun 2023 dan 2024 juga sudah ditetapkan, yaitu India (2023) dan Brasil (2024). Daftar negara yang menjadi tuan rumah perhelatan KTT G20 hingga 2024 sudah ada di Wikipedia. Seturut itu, dibaca secara sederhana, penetapan sebuah negara sebagai Presidensi G20 itu ibarat cara penetapan secara acak perihal giliran arisan dari suatu kelompok arisan. Tidak ada yang sungguh luar biasa di sana. Bayangkan sebuah kelompok arisan yang terdiri dari 12 orang, yang dalam menetapkan siapa yang akan mendapat giliran arisan dalam bulan tertentu, mereka lalu membuat kertas guling sebanyak 12 yang berisi nama-nama bulan dari Januari sampai Desember. Kertas guling itu kemudian dimasukkan ke dalam toples untuk dikocok dan, setelah dikocok, setiap anggota mengambil satu kertas guling yang akan menentukan bulan berapa masing-masing mereka mendapat giliran arisan.

Berdasarkan itu, giliran Indonesia sebagai Presidensi G20 paling baik dilihat sebagai sebuah tanggung jawab. Tugas Indonesia adalah menyukseskan tanggung jawab dalam menyelenggarakan kegiatan G20 yang bertaraf internasional itu. Kesuksesan dalam menjalankan tanggung jawab itu bermanfaat bagi Indonesia dalam membangun kepemimpinannya di mata internasional sehingga negara-negara di dunia menaruh kepercayaan kepada Indonesia. Kepercayaan dari negara-negara internasional adalah bekal bagi Indonesia untuk menjalin kerja sama dalam sektor ekonomi, teknologi, pariwisata, pendidikan, lingkungan, dan lainnya yang muaranya adalah mempercepat proses pembangunan di Indonesia.

Hegemoni

Hegemoni adalah konsep yang dicetuskan oleh Antonio Gramsci (1891-1937), seorang filosof Italia. Gramsci menggambarkan hegemoni sebagai kepemimpinan budaya (intelektual dan moral) untuk menciptakan kepatuhan. Dalam hegemoni, individu atau masyarakat patuh terhadap sebuah gagasan, sebuah rezim, pertama-tama karena mereka mengembangkan persetujuan yang timbul melalui pengakuan dan penerimaan atas gagasan itu sebagai sesuatu yang ‘benar’. Hegemoni adalah suatu operasi kekuasaan oleh sebuah rezim melalui ‘politik bahasa’. Hegemoni berbeda dan lebih canggih dari dominasi, di mana, dominasi adalah kepatuhan individu atau masyarakat terhadap sebuah rezim berlandaskan pada ketakutan atau paksaan.

Gesture, bahasa tubuh, dan bentuk komunikasi dari pemerintah lainnya yang menggembar-gemborkan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 adalah sebuah prestasi, hemat saya, merupakan bentuk hegemoni. Melalui narasi Presidensi G20 sebagai sebuah prestasi, ingin diciptakan kesan bahwa Indonesia adalah negara yang hebat karena mendapat kepercayaan dan kehormatan besar dari dunia internasional. Pembentukan kesan seperti itu dapat meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah sehingga legitimasi pemerintah terpelihara. Penciptaan kesan seperti itu juga adalah bentuk pengelabuan yang dapat menggiring publik untuk tidak mempersoalkan berbagai kesalahan dan kelalaian pemerintah dalam menjalankan tugasnya di berbagai sektor.

Mengantisipasi sikap berpuas diri

Sikap kritis publik sangat diperlukan untuk tidak terhanyut dalam hegemoni seputar Presidensi G20 itu. Sebab, bahaya utama jika terhanyut dalam hegemoni tersebut adalah berkembangnya sikap berpuas diri (self-complacent), yang kemudian membuat publik lupa atau lalai terhadap berbagai persoalan kolektif yang sedang dihadapi bangsa ini, serta terhadap ketidakseriusan dan ketidakcakapan pemerintahan dalam menghadapi berbagai persoalan itu. Masalah utama yang sedang dihadapi dunia internasional saat ini adalah krisis pangan dan energi yang menuntut perhatian serius dari negara-negara dalam menghadapinya. Sambil publik Indonesia berkontribusi dalam berbagai cara yang mungkin, publik juga mesti mendorong pemerintah untuk memfokuskan berbagai sumber daya strategisnya dalam mengatasi krisis pangan dan energi itu.

Sementara itu, sebagai bangsa yang sedang berupaya menjadi negara maju, spirit yang mesti dikembangkan oleh bangsa ini adalah sikap tidak berpuas diri, sebagai lawan dari sikap berpuas diri. Pemerintah dan masyarakat di negeri ini perlu menyalakan semangat menghendaki lebih dari apa yang sudah dicapai. Spirit tak berpuas diri seperti itu menjadi keharusan mengingat walaupun betapa negeri ini kaya akan berbagai sumber daya alam dan letaknya strategis untuk menjadi bangsa yang produktif, tetapi tanda-tanda perkembangan dalam berbagai sektor untuk menjadi negara yang maju belum begitu meyakinkan.

Misalnya saja adalah sektor pertanian. Kecenderungan pemerintah mengimpor bahan-bahan pokok seperti cabai, bawang, kedelai, beras dan lainnya adalah indikasi belum seriusnya pemerintah memperhatikan sektor pertanian kita. Padahal, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, pertanian merupakan sektor unggul Indonesia yang dapat menjadi kekuatan penggerak Indonesia untuk menjadi maju. Ada dua alasan untuk itu, pertama, tanah di Indonesia sangat subur karena merupakan daerah vulkanis. Kedua, dan yang lebih penting, Indonesia adalah negara yang berada di garis khatulistiwa yang karenanya memiliki keuntungan atas tersedianya sinar matahari sepanjang tahun sehingga aktivitas pertanian dapat dilakukan sepanjang tahun. Sebuah keuntungan yang tidak dialami oleh negara-negara yang memiliki empat musim.

Akhirnya, sambil mesti melakukan persiapan sebaik mungkin untuk menyukseskan perhelatan KTT G20 di November nanti, negeri ini juga mesti selalu sadar bahwa banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Mulai dari mengatasi krisis pangan dan energi hingga keseriusan untuk memperhatikan sektor-sektor unggul yang dapat menjadi pendorong bangsa ini menjadi maju, seperti salah satunya sektor pertanian. Spirit tak berpuas diri harus membingkai kehidupan politik bangsa ini dalam mengejar cita-cita menjadi negara yang maju. Pemahaman politik yang lebih utuh dapat membantu bersemainya spirit tak berpuas diri, bahwa: politik bukan hanya seni yang mungkin (the art of the possible), tetapi, sebagaimana dikatakan oleh filosof Alain Badiou, politik juga adalah seni menyerang ketidakmungkinan (politics is the art of attacking the impossible). Indonesia berkelimpahan kekayaan alamnya dan memiliki posisi strategis untuk maju, karena itu target-target kehidupan bernegara mesti dicapai, bahkan target-target yang terlihat tak mungkin sekalipun.

Penulis: Ransis Raenputra, Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Airlangga