Universitas Airlangga Official Website

Karakterisasi Pati dari Limbah Kulit Kentang sebagai “Edible Film” dengan Penambahan Gliserol

Foto oleh HuffPost Canada

Meluasnya penggunaan plastik berbasis bahan minyak bumi oleh industri pengemasan makanan, akan berdampak pada kerusakan lingkungan seperti wilayah laut, lahan pertanian. Hal ini dikarenakan plastik terkonsentrasi dan sulit terdegradasi, tidak dapat diperbaharui, dan menyumbang bahan kimia berbahaya di lingkungan yang nantinya akan termigrasi kedalam makhluk hidup. Sehingga, para peneliti berusaha menemukan alternatif pengganti plastic seperti kemasan berbahan dasar alami yang mudah terdegradasi. Bahan kemasan alami tersebut diproyeksikan sebagai bahan kemasan alternatif untuk mengurangi masalah yang berkaitan dengan pencemaran plastik di lingkungan darat dan laut. Selain itu, berbagai penelitian telah menghasilkan dan melaporkan kegunaan bahan kemasan biodegradable yang dapat dirancang untuk mengawetkan berbagai produk makanan, terutama makanan yang mudah rusak dan busuk.

Polimer alami, seperti pati, protein, dan lipid, telah diteliti dalam rangka mengembangkan “edible film” yang dapat terurai secara alami. Pati telah menarik banyak perhatian penelitian dan memiliki potensi untuk mengembangkan edible film yang biodegradable karena memiliki banyak keunggulan seperti: harga yang relative murah, dapat diperbarui, ketersediaannya melimpah, kemampuan membentuk “edible film” yang baik, dan mudah terurai. “Edible film” berbahan dasar pati telah banyak dikembangkan dari bahan pangan seperti beras, kentang, singkong, gandum, dan pati jagung. Di antara bahan pati tersebut, kentang adalah bahan nomer tiga terbanyak yang paling banyak dikonsumsi, dan sekitar 156 negara bergantung pada produksi kentang. Namun, peningkatan produksi kentang juga menimbulkan limbah pertanian, seperti kulit kentang. Sehingga dengan adanya permasalahn limbah kentang, penelitian tentang biokonversi limbah pertanian dan bahan ramah lingkungan baru menjadi “edible film” merupakan solusi dalam pengurangan limbah pertanian sekaligus menjadi solusi terhadap masalah kemasan plastic yang dapat mencamari lingkungan.  

Pada decade terakhir, telah banyak dilakukan penelitian tentang potensi penggunaan kulit kentang menjadi bahan bernilai guna, seperti bahan kemasan makanan terurai atau edible film. Namun, karakterisasi sifat fisikokimia yang mendasari sifat penghalang air dari kemasasan berbahan dasar pati limbah kulit kentang masih menjadi hal yang baru. Lebih lanjut, beberapa penelitian yang melaporkan potensi pati kulit kentang dalam memproduksi “edible film” terbatas pada sifat biodegradabilitas dan penghalang air, tanpa menyelidiki sifat kristal dan termal dari bahan pati tersebut.

“Edible film” diproduksi dengan cara mencampurkan pati dengan plasticizer yang bertujuan untuk meningkatkan sifat elastisitas seperti plastik. Penambahan plasticizer diperlukan untuk menghasilkan film berbasis pati, karena film ini menunjukkan karakteristik mekanis yang rendah. Sifat mekanis yang rendah dapat membatasi penggunaan “edible film” dalam produksi kemasan konvensional.

Disisi lain polimer berbasis selulosa memiliki potensi yang baik sebagai bahan kemasan berbasis alami, yang terkait dengan biodegradabilitas dan kompatibilitasnya dengan alam. Selulosa misalnya, karboksimetil selulosa (CMC) telah dilaporkan dapat digunakan untuk membentuk “edible film” yang sangat baik, tetapi penerapan CMC terbatas karena sifat fisik yang buruk. Berdasarakan hal tersebut peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian mengembangkan “edible film” yang dapat dikonsumsi dengan konsentrasi pati limbah kulit kentang yang berbeda dibandingkan dengan “edible film” berbasis karboksimetil selulosa (CMC).

Pada penelitian ini ”edible film” diproduksi dengan metode basah dan di cetak menggunakan Teknik casting. Resin (campuran bahan dasar “edible film”) disiapkan dalam gelas kimia 100 mL menggunakan rasio pati limbah kulit kentang yang dioptimalkan melalui metode Response Surface dimana  rasio 4% b/v sebagai sampel yang disarankan sebagai konsentrasi pati limbah kulit kentang yang optimum,  rasio  2% b/v konsentrasi terendah, dan rasio 6% (b/v) sebagai rasio tertinggi yang digunakan untuk menghasilkan “edible film”, dan gliserol (27% v/w dari  rasio pati) digunakan sebagai plasticizer. Sedangkan, CMC (2% (b/v) sebagai kontrol) dicampur dengan gliserol (30%v/v CMC). Resin dipanaskan selama 15 menit pada suhu 100 °C di atas hotplate dengan proses pengadukan konstan, kemudian didinginkan selama 5 menit pada suhu kamar (25 °C). Selanjutnya, resin yang telah didinginkan dituang ke dalam cetakan berdiameter 9 cm dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50 °C selama 4 jam. Sampel kering disimpan dalam desikator dengan silika gel, yang disimpan dalam pengontrol kelembaban digital (50% RH) selama 48 jam sebelum analisis.

Edible Film berbasis pati dari limbah kulit kentang menggambarkan matriks film yang sangat terkait-silang yang menunjukkan peningkatan ketebalan, transparansi rendah, heterogenitas permukaan, dan luas penampang dibandingkan dengan film CMC. Selain itu, peningkatan pati limbah kulit kentang dapat menurunkan kelarutan air, daya mengembang, permeabilitas air dan menunjukkan sifat mekanik yang baik; namun, peningkatan ini gagal mempengaruhi tampilan visual dan sifat kristalinitas film. Edible film dari pati kulit kentang menunjukkan percepatan biodegradabilitas di dalam tanah dan air laut dalam standar yang direkomendasikan yaitu kurang dari dua bulan. Hal ini dapat membuktikan bahwa kulit kentang merupakan sumber pati berbiaya rendah untuk produksi edible film yang dapat terurai secara hayati. Biokonversi pati kulit kentang menjadi “edible film” dapat berkontribusi terhadap daur ulang limbah dan mencegah kemunduran mutu makanan dengan berkontribusi pada umur simpan dan keamanan produk makanan, serta mengurangi volume plastik berbasis minyak bumi yang merusak lingkungan.

Penulis: Annur Ahadi Abdillah

Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

Artikel lengkap:  https://doi.org/10.3390/polym14173462