Universitas Airlangga Official Website

Karakteristik Pelaku dan Korban Bullying di Sekolah

Foto by Kompas

Bullying adalah fenomena yang banyak terjadi di kalangan siswa. Hamper seluruh institusi pendidikan di dunia berusaha meningkatkan perilaku anti-intimidasi atau anti-bullying (Liang, dkk., 2007; Smith dkk., 1999). Studi sebelumnya menjelaskan bahwa siswa sekolah dasar untuk kelas tiga sampai kelas enam menghadapi masalah serius korban bullying, minimal sepuluh sampai lima belas persen setiap minggu (Harachi, dkk., 1999; Nansel, dkk., 2001). Dr. Ami Huneck menemukan bahwa 10%-60% siswa di Indonesia menjadi korban bullying verbal satu kali setiap minggu (Wiryani, 2012). Selain itu, sebuah studi oleh Mishna, dkk. (2009) mendukung bahwa bullying yang melibatkan fisik dinilai sama serius dengan bullying verbal. Dalam beberapa dekade terakhir penelitian tentang bullying terjadi tidak hanya di sekolah tapi juga di tempat yang berbeda seperti rumah tangga, kantor, atau tempat olahraga, dan pada tahap kehidupan yang berbeda dari masa kanak-kanak hingga dewasa (Fenclau, dkk., 2013; Irlandia & Qualter, 2008).

Dunia menghadapi risiko serius terhadap kesejahteraan mental, emosional, dan fisik karena meningkatnya aktivitas perundungan di lembaga pendidikan. Fenomena bullying merupakan fenomena multifaset yang dapat dilihat pada siswa dengan bentuk yang berbeda-beda seperti bullying verbal, cyberbullying, bullying fisik, bullying pembentukan tubuh, dan sebagainya (Llorent, V. J., dkk., 2016). Individu yang terlibat dalam kegiatan bullying adalah mereka yang mengalami beberapa masalah internal dan eksternal.

Artikel ini didasarkan pada literalur penelitian sebelumnya. Data diperoleh dengan menelusuri artikel Jurnal Taylor & Francis, Sage Journals, Science and Technology Index Indonesia (SINTA) Journals, Springers, ERIC Institute of Education Sciences, buku, website Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan mengakses Google Cendekia dengan kata kunci bullying, bullying, keterlibatan keluarga, peer bullying, school bullying in Indonesia, saudara kandung bullying. Ada 70 artikel yang diperoleh dengan mencari melalui semua mesin pencari yang disebutkan di atas dari tahun 2000 hingga saat ini.

Bullying di Sekolah

Fenomena bullying secara khusus mewakili situasi di mana korban ditekan oleh individu yang lebih kuat dari korban (Olweus, D., 2003). Kegiatan agresi seperti itu dengan mudah dapat dilihat di sekolah-sekolah di mana kelompok sebaya mencoba mempengaruhi diri mereka sendiri kepada mereka yang kurang kuat atau tidak dapat bertindak secara timbal balik kepada mereka dengan cara yang sama (Espelage & Swearer, 2009). Bullying adalah fenomena budaya dan masyarakat (Migliaccio & Raskauskas, 2016).

Temuan studi terbaru oleh Skrzypiec, dkk. (2018) mengungkapkan bahwa usia sebelas hingga enam belas (11-16 tahun), siswa di sekolah mengalami bullying oleh teman sebayanya sebanyak kurang lebih enam puluh dua persen (61,9%); bullying secara fisik sekitar delapan puluh persen (79,4%). Borualogo & Casas, (2021) mengungkapkan bahwa siswa laki-laki menghadapi bullying fisik sebesar 28,06% dibandingkan siswa perempuan dengan 14,63% yang berarti siswa laki-laki mengalami dua kali lebih banyak dibandingkan siswa perempuan. Tanrikulu & Campbell (2015) mengemukakan bahwa bullying oleh saudara kandung tidak terkait dengan usia dan jenis kelamin. Selain itu, pola asuh juga berperan penting dalam mengadopsi perilaku bullying baik pada anak laki-laki maupun perempuan.

Penelitian terbaru tentang bullying di sekolah dasar Jambi oleh Octavia, dkk. (2021) menunjukkan bahwa lingkungan sekolah dan perilaku bullying memiliki korelasi yang signifikan dengan p-value=0,001>0,05. Untuk mendukung penelitian ini, penyelidikan lain oleh Gonçalves, dkk. (2016) melaporkan bahwa bullying gender menjadi isu di lingkungan sekolah dan siswa perempuan adalah titik pusat bullying verbal oleh rekan laki-laki; siswa perempuan menjadi korban bullying terhadap postur tubuh.

Studi berbasis tinjauan pustaka ini telah menekankan bullying secara khusus dalam konteks sekolah. Pihak sekolah harus mengambil langkah serius dalam mencegah kegiatan-kegiatan yang membawa kekerasan pada siswa. Alasan sekolah menjadi tempat mengadopsi perilaku bullying karena sekolah merupakan tempat berkumpulnya siswa dari berbagai budaya dan latar belakang keluarga untuk belajar, perbedaan ini membawa beberapa hal baru baik positif maupun negatif.

Penulis: Shahzad Ali, Nurul Hartini, Nono Hery Y.

Link: file:///C:/Users/User/Downloads/JPSP+-+2022+-+290.pdf