Universitas Airlangga Official Website

Komplikasi Infeksi pada Penyakit Ginjal Kronik Anak

Ilustrasi penyakit ginjal kronik (Sumber: CNN Indonesia)

Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius pada anak dengan morbiditas dan mortalitas yang makin meningkat, serta masalah sosial ekonomi yang bermakna. Deteksi dan intervensi dini sangat penting untuk memperlambat progresivitas penyakit dan menjaga kualitas hidup, namun kesadaran masyarakat dan tenaga medis yang masih kurang sehingga pengobatan sering terlambat. Dialisis peritoneal merupakan salah satu modalitas terapi pengganti ginjal yang banyak dilakukan pada pasien penyakit ginjal kronik anak. Selama masa pandemi Covid-19 sejak tahun 2020, didapatkan munculnya pankreatitis akut sebagai salah satu komplikasi dari dialisis peritoneal akibat terbatasnya akses ke pelayanan kesehatan, kurangnya kepatuhan dan pemantauan pada beberapa pasien anak seperti yang dilaporkan oleh dr. Agustina Wulandari SpA dan Dr. dr. Risky Vitria Prasetyo, SpA(K) pada tahun 2022.

Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit ginjal dengan kerusakan ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus). Kerusakan ginjal dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium (sampel darah dan urine), radiologi, dan biopsi ginjal. Proteinuria pada penyakit ginjal kronik merupakan salah satu tanda penting kerusakan ginjal karena protein akan merusak dinding kapiler glomerulus yang dilintasinya sehingga terjadi perpindahan monosit/makrofag dan berbagai sitokin lainnya yang kemudian menyebabkan sklerosis glomerulus dan fibrosis tubulointerstisial. 

Penyebab dari penyakit ginjal kronik pada anak dapat bervariasi seperti kelainan bawaan ginjal dan saluran kemih, sindrom nefrotik, glomerulonefritik kronik, infeksi saluran kemih, hipertensi, penyakit ginjal polikistik, nefritis lupus, dan sumbatan di saluran kemih (uropati obstruktif).

Terdapat lima stadium penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerulus, dimana pada stadium 3 (laju filtrasi ginjal <60 ml/menit/1,73 m2) sudah terjadi kerusakan ginjal lebih dari 50% dan angka kejadian komplikasi penyakit ginjal kronik mulai meningkat. Indikasi klasik terapi pengganti ginjal berupa dialisis (hemodialisis dan dialisis peritoneal) dan transplantasi ginjal adalah saat pasien mencapai stadium 5 (laju filtrasi ginjal <15 ml/menit/1,73 m2).  

Dialisis adalah suatu terapi yang bertujuan untuk membuang “sampah” dan kelebihan cairan dari tubuh. Cara ini menggantikan 2 fungsi utama dari ginjal. Ada 2 macam pilihan modalitas dialisis jangka panjang, yaitu hemodialisis (cuci darah) dan dialisis peritoneal (cuci perut). Dialisis peritoneal adalah pilihan perawatan dialisis bebas jarum untuk menggantikan fungsi ginjal. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan metode dialisis peritoneal yang lebih fleksibel karena memungkinkan pasien untuk melakukan dialisis secara mandiri dengan 4 kali pergantian cairan dalam 1 hari setiap hari dan di antara waktu penggantian cairan pasien tetap dapat menjalani aktivitas normal sehari-hari seperti bermain, belajar, di rumah, di sekolah, dan bahkan saat liburan. Oleh karena itu CAPD menjadi pilihan utama modalitas dialisis jangka panjang untuk anak karena memungkinkan anak untuk bersekolah dan beraktivitas normal seperti anak sehat lainnya.

 Dialisis peritoneal diawali dengan pembuatan lubang kecil di dekat pusar dan pemasangan kateter melalui lubang kecil tersebut ke dalam perut pasien oleh dokter bedah untuk memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga peritoneal, memanfaatkan peritoneum yang berfungsi untuk menyaring dan membersihkan darah, menarik racun dari dalam tubuh. Kateter yang terpasang ini kemudian akan dihubungkan dengan transfer set yang mudah disembunyikan di dalam pakaian. Peritoneum adalah kantung semipermiabel tipis di dalam rongga perut, bentuknya menyerupai kantung besar yang menjaga lambung, usus, hati dan berbagai organ lain tetap pada posisinya. Cairan dialisis dimasukkan ke dalam peritoneum dan ketika darah melewati peritoneum ini, darah akan dibersihkan melalui fenomena yang disebut difusi. Difusi adalah perpindahan zat-zat terlarut di dalam darah ke dalam larutan dialisis. Proses ini akan berakhir setelah periode waktu tertentu. Oleh sebab itu pada dialisis peritoneal harus dilakukan penggantian cairan tiap 4 sampai 6 jam. 

Beberapa kelebihan atau manfaat metode CAPD antara lain adalah pasien tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit; peralatan yang digunakan untuk CAPD bersifat portable (mudah dibawa); larangan atau batasan makanan pengguna CAPD lebih sedikit; fungsi ginjal dapat bertahan lebih lama; dan lebih baik bagi jantung dan pembuluh darah. Sedangkan risiko CAPD meliputi infeksi, hernia, peningkatan berat badan, dan dialisis tidak optimal. 

Infeksi merupakan komplikasi terbanyak yang terjadi pada pasien CAPD. Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling serius yaitu antara 60-80% dari pasien yang menjalani dialisi peritoneal. Diagnosis empiris peritonitis harus dipikirkan ketika cairan peritoneal keruh/berawan, hitung sel darah putih lebih dari 100/mm dan setidaknya 50% dari sel darah putih tersebut adalah sel polimorfonuklear (PMN). Tindakan aseptik merupakan satu langkah yang paling penting yang perlu dilakukan pengguna CAPD. Teknik ini sangat penting untuk menghindari pasien dari kontaminasi bakteri yang menyebabkan peritonitis saat melakukan prosedur CAPD. Komplikasi lanjutan dari infeksi di rongga perut seperti peritonitis CAPD ini dapat berlanjut ke infeksi di berbagai organ lain dalam rongga perut, termasuk pankreatitis.

Laporan 2 kasus pankreatitis akut pada anak dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani dialisis peritoneal selama pandemi Covid-19 di RSUD Dr. Soetomo Surabaya mendapatkan gejala awal yang serupa berupa nyeri perut hebat terkait dengan peritonitis pada dialisis peritoneal. Faktor predisposisi infeksi dialisis peritoneal tersebut antara lain adalah kurangnya kepatuhan dan pemantauan, serta terbatasnya akses ke pelayanan kesehatan selama pandemi Covid-19. Pemberian terapi anti jamur untuk peritonitis CAPD pada kasus 1 dan adanya komorbiditas berupa penyakit autoimun pada kasus 2 meningkatkan risiko untuk terjadinya pankreatitis akut pada 2 pasien CAPD anak tersebut. Diagnosis pankreatitis akut ditegakkan berdasarkan kriteria Atlanta yang direvisi dengan adanya nyeri perut, peningkatan enzim pankreas sebanyak 3 kali lipat, dan pemeriksaan ultrasonografi. Setelah menjalani terapi konservatif berupa puasa, nutrisi parenteral total, pemberian antibiotika profilaksis dan analgesik, kedua pasien tersebut pulih dan tidak memerlukan intervensi invasif lainnya.

Dengan demikian, perlu memikirkan kemungkinan diagnosis pankreatitis akut pada anak dengan dialisis peritoneal, terutama bila sudah terjadi peritonitis terkait CAPD sebelumnya. Diagnosis pankreatitis akut ini tidak mudah karena gejalanya dapat menyerupai berbagai kelainan lain di rongga perut. Kasus pankreatitis akut yang dilaporkan ini kemungkinan terkait dengan infeksi pada dialisis peritoneal yang terjadi sebelumnya dan terbukti membaik dengan tatalaksana konservatif. Diperlukan strategi dan metode tatalaksana klinis yang inovatif dalam menghadapi berbagai masalah akibat pandemi Covid-19 untuk meningkatkan kualitas hidup anak dengan penyakit ginjal kronik yang menjalani dialisis peritoneal.

Penulis: Dr. dr. Risky Vitria Prasetyo, SpA(K)

Referensi: Wulandari A, Prasetyo RV, Kurniawan MR, Soemyarso NA, Noer MS. 2022. The management of acute pancreatitis among children on chronic ambulatory peritoneal dialysis during COVID-19 pandemic crisis in Indonesia: report of two cases. Bali Med J 2022; 11(2): 514-519.

Link: https://www.balimedicaljournal.org/index.php/bmj/article/view/3422/2111 

Baca Juga: Prevalensi Migrain Menstrual dan Efikasi dari Pemberian Sumatriptan