Stroke sangat mempengaruhi kehidupan penderitanya dan telah diakui sebagai penyebab utama kecacatan. Gangguan fungsi motorik, sensorik, dan/atau kognitif jangka panjang dialami oleh pasien stroke, dan hal ini sangat mungkin berkorelasi dengan perubahan sosial. Stroke telah berkontribusi terhadap kematian 6,6 juta orang di seluruh dunia. Di Indonesia, sekitar 10,9% dari populasi, di atas usia 15 tahun, terkena beberapa bentuk stroke dengan kejadian tertinggi di Kalimantan Timur (14,7%) dan Yogyakarta (14,6%).
Pasien stroke dan keluarga yang mengasuh memiliki beban baik dalam aspek kesehatan, ekonomi,maupun sosial. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar 30% pasien stroke pada tahap awal atau akhir mengalami depresi pasca stroke, yang memengaruhi motivasi rehabilitasi pasien, mengurangi efek rehabilitasi, dan meningkatkan beban perawatan keluarga. Sekitar sepertiga dari penderita stroke mengalami depresi di beberapa titik dalam hidup mereka, terkait dengan fungsional yang buruk dan kematian yang tinggi.
Seorang pasien stroke juga membutuhkan dukungan seperti dukungan emosional, informasi, instrumental, dan interaksi sosial. Seorang pasien yang mampu mempertahankan hubungan sosial yang bermakna dan secara aktif terlibat dalam kegiatan sosial akan berhasil pulih dan bergabung kembali dengan masyarakat. Untuk berinteraksi atau berpartisipasi dalam kegiatan sosial, pasien memerlukan kemampuan fisik. Oleh karena itu, terapis fungsional juga harus memperhatikan kebutuhan psikologis pasien stroke selain kegiatan rehabilitasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti dari Universitas Ailangga bersama peneliti dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional melakukan suatu penelitian untuk menilai pentingnya dukungan sosial di antara pasien stroke dengan depresi dan hubungan antara dukungan sosial dengan rehabilitasi pasien. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif, dengan desain studi cross-sectional. Peserta terdiri dari pasien stroke dan anggota keluarganya yang diseleksi berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Peneliti merekrut 104 peserta berusia >30 tahun. Periode penelitian dimulai 8 November hingga 15 Desember 2021 di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional.
Mayoritas peserta berusia lebih dari 60 tahun (50%) dan didominasi oleh peserta laki-laki (64,4%) Sebagian besar peserta memiliki pendidikan menengah (44,2%). Seluruh peserta bekerja bekerja di sektor swasta, dan sebanyak 58 orang (55,8%) berpenghasilan lebih dari 4,6 juta rupiah per bulan.
Peneliti menemukan bahwa dukungan instrumental, emosional, interaktif, dan informasi berkontribusi untuk menurunkan gejala depresi. Dukungan instrumental berupa ketersediaan pangan, uang, barang, dan jasa memiliki nilai koefisien tertinggi untuk menurunkan depresi. Dukungan emosional berupa perhatian dan kasih sayang memiliki nilai tertinggi kedua dalam menurunkan depresi. Selanjutnya, interaksi dan dukungan informasi tetap menjadi komponen penting dari dukungan sosial dalam mengurangi depresi. Support system berperan penting dalam menurunkan tingkat depresi pada penderita stroke. Keluarga dan lingkungan sekitar sangat berpengaruh dalam mempercepat proses rehabilitasi pasien stroke dengan memberikan dukungan.
Penulis: Muhammad Miftahussurur
Artikel dapat diakses pada: