Universitas Airlangga Official Website

Peran Pancasila dalam Legitimasi Kebijakan Publik Indonesia

pancasila (sumber: sonora id)

Ideologi nasional seringkali menjadi alat untuk melegitimasi tindakan pemerintah. Kajian ini berupaya mengkaji bagaimana elit pemerintah menggunakan ideologi Pancasila untuk melegitimasi kebijakan publik di era pandemi COVID-19. Dengan menggunakan pendekatan metodologis reflektif-interpretatif yang membumi dalam kerangka wacana post-foundational. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa kebijakan kontroversial selama pandemi COVID-19 cenderung muncul karena keselarasan dengan ideologi dan peran Pancasila. 

Upaya-upaya ini banyak yang melakukan, terutama oleh aktor-aktor pemerintah yang mendukung kebijakan-kebijakan ini. Mewakili rezim yang berkuasa. Para aktor pemerintah ini secara konsisten menegaskan ketaatan pada sila-sila Pancasila atau menyebut diri sebagai yang paling “Pancasilais”. Strategi inilah yang menjadi ciri utama pemanfaatan Pancasila dalam legitimasi kebijakan publik di masa pandemi. 

Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa rezim politik yang ada cenderung menafsirkan ajaran Pancasila sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Hasil studi ini membenarkan bahwa dalam konteks kebijakan yang untuk menangani pandemi COVID-19. Kebijakan yang pemerintah ambil cenderung pro-kapitalis, anti-demokrasi, dan bahkan anti-intelektual. Meski demikian, bagi rezim yang berkuasa, kebijakan tersebut mereka nilai sejalan dengan ideologi Pancasila. Studi ini menyimpulkan bahwa peran Pancasila sebagian besar malah menjadi alat untuk melegitimasi tindakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. 

Berangkat dari pemikiran itu, salah satu masalah terpenting dari ideologi nasional suatu negara, termasuk peran Pancasila sebagai ideologi nasional Indonesia, adalah masalah politik. Hal ini erat kaitannya dengan mendistorsi dan menjadikan Pancasila sebagai instrumen politik untuk melanggengkan atau melegitimasi tindakan dan kepentingan sempit individu atau kelompok di dalam rezim yang berkuasa. 

Sayangnya, hingga saat ini, permasalahan politik Pancasila jarang mendapat pembahasan secara luas dan tidak pernah terselesaikan. Meskipun beberapa pengamat dan oposisi pemerintah di era Orde Baru berusaha untuk menunjukkan dan memperluas wacana tentang aspek politik Pancasila, Reformasi 1998, yang mereka anggap telah membawa perubahan besar dalam politik Indonesia, tidak membawa masalah politik Pancasila untuk dibahas secara serius, tidak seperti masalah lain seperti hak asasi manusia,  demokrasi, dan masalah reformasi kelembagaan. 

Bahkan dalam proses amandemen UUD antara tahun 1999-2002, permasalahan politik Pancasila tidak mendapat pembahasan secara serius. Pada awal Reformasi, wacana Pancasila sempat hilang seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru. Organ-organ politik yang mendapat tugas untuk melembagakan Pancasila, yaitu ‘Badan Pendidikan Pedoman Hidup dan Mengamalkan Pancasila’ (B7), juga secara resmi tidak ada. Hal ini diikuti dengan berakhirnya ‘pedoman memahami dan mengamalkan Pancasila’ (P4), yang sebelumnya harus diikuti oleh setiap warga negara.

Dalam penelitian ini, sekali lagi telah terbukti bahwa narasi yang menggambarkan pemerintah sebagai kelompok aktor yang paling Pancasilais tidak sepenuhnya benar. Faktanya, banyak kebijakan pemerintah di era pandemi COVID-19 yang sangat pragmatis, melayani kepentingan kelompok elit tertentu. Kebijakan-kebijakan ini tidak semata-mata untuk kepentingan elit penguasa; Sebaliknya, mereka dikategorikan oleh banyak pengamat sebagai cenderung anti-demokrasi dan pro-kapitalis. 

Oleh karena itu, upaya untuk memahami tren ini melibatkan dekonstruksi dan memperluas wacana tentang realitas politik Pancasila dan potensinya untuk instrumentalisasi. Studi ini berkontribusi pada tujuan ini. Melalui analisis respons pandemi COVID-19, terungkap bahwa tindakan pemerintah cenderung selaras dengan kecenderungan pro-kapitalis, anti-demokrasi, dan bahkan anti-ilmiah. Meskipun demikian, pemerintah sering menegaskan dirinya sebagai juara utama Pancasila, sementara menstigmatisasi faksi-faksi yang berlawanan sebagai anti-Pancasila. Akibatnya, jelas bahwa potensi Pancasila untuk dimanipulasi sebagai alat legitimasi politik oleh rezim yang berkuasa saat ini dan masa depan tetap luas. Hal ini, pada gilirannya, memperluas potensi kemunculan kembali otoritarianisme di Indonesia 

Studi ini menggarisbawahi pentingnya mengevaluasi secara kritis pernyataan pemerintah tentang kepatuhan Pancasila. Selain itu, studi ini juga menyoroti perlunya beragam suara untuk menantang interpretasi monopolistik terhadap nilai-nilainya. Karena kebebasan politik menghadapi pembatasan yang lebih besar, menjadi keharusan bagi individu dan kelompok dalam masyarakat untuk menegakkan prinsip-prinsip Pancasila dan mengadvokasi kerangka pemerintahan yang lebih inklusif dan demokratis. 

Penulis: Gitadi Tegas Supramudyo, Jusuf Irianto, Erna Setijaningrum, & Adam Amin Bahar