Universitas Airlangga Official Website

Relasi Gender Pelaku dan Korban Kekerasan Seksual pada Masa Pacaran di Kalangan Mahasiswa

IL by ARTIKULA ID

Kekerasan seksual pada masa pacaran bukan fenomena yang baru. Namun kekerasan seksual pada masa pacaran merupakan masalah yang mempengaruhi setidaknya satu dari empat korban kekerasan (Komnas Perempuan, 2021). Kekerasan seksual pada masa pacaran merupakan variasi dari kekerasan seksual. Permasalahan yang dialami korban selama pacaran penuh risiko karena relasi gender antara keduanya (Shakti et al., 2022), dan hal ini tidak bisa diabaikan karena berdampak negatif terhadap korban. Kekerasan seksual dalam masa pacaran menjadi fenomena yang terjadi dalam hubungan percintaan. Pelaku melakukan kekerasan seksual untuk mengatur dan mengendalikan pasangan agar dapat menuruti keinginannya (Evendi, 2018). Hal ini tidak bisa lepas dari timbulnya kepercayaan atas perbedaan kedudukan antar pasangan dalam hubungan pacaran (Vania & Lentari, 2019).

Secara sosiologis, pacaran merupakan hubungan antara dua orang sebagai wujud dari relasi sosial antar individu. Hubungan pacaran dianggap sebagai hubungan persahabatan, hubungan antara orang tua dengan anak, hubungan antara suami dengan istri, dan hubungan lain yang serupa (Nugroho & Sushanti, 2019). Pacaran merupakan hal umum yang dilakukan ketika manusia beranjak remaja dengan berbagai alasan yang mendasari. Pacaran adalah hubungan antara dua orang yang mana antara satu dengan yang lain memiliki keterikatan emosi yang didasarkan pada perasaan khusus dalam hati masing-masing (Sari et al., 2018).

Pacaran menjadi relasi yang popular. Idealnya, pacaran merupakan hal yang menyenangkan. Namun, dalam realitas terdapat relasi yang rawan menimbulkan kekerasan. Hal ini tidak lain berkaitan dengan pemahaman masing-masing pasangan atas cinta dan sayang yang diterjemahkan sebagai kepemilikan yang terwujud dalam sikap mengontrol dan dikontrol (Abidjulu & Banurea, 2019). Hubungan pacaran juga memberikan pengaruh timbal balik. Masing-masing individu menyesuaikan diri dengan pasangannya dan sebaliknya. Pada proses ini seringkali pacar memiliki perbedaan persepsi yang berujung pada terjadinya kekerasan seksual. Sebuah studi menyebutkan bahwa kekerasan seksual pada masa pacaran berkamuflase dalam wadah yang diyakini sebagai cinta (Sholikhah & Masykur, 2020).

Studi ini menemukan bahwa kondisi korban sebelum terjadinya kekerasan yaitu: korban dipaksa berhubungan seksual dengan alasan cinta, korban dilarang memakai alat kontrasepsi, pelaku menolak memakai kondom, ketika hamil korban diminta untuk aborsi paksa, korban dipengaruhi obat-obatan terlarang dan alkohol, pelaku dan korban terlibat adu mulut, korban dijanjikan pernikahan, pelaku mengancam korban menyebarkan rahasia pribadi korban, pelaku mengancam menyakiti korban, korban diancam putus, dan korban diancam disebarkan video kepada saudara/orang terdekat korban. Saat terjadinya kekerasan, tindakan korban yaitu: diam menurut, memberontak tetapi tidak melawan, menangis, memaki-maki, memukul, melarikan diri, lapor ke pihak berwajib, dan lapor ke LSM.

Studi ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual justru terjadi dalam pola relasi saling mencintai. Tindakan kekerasan seksual bukan dikarenakan dirinya sendiri, melainkan pasangannya. Kekerasan yang dialami oleh korban merupakan bentuk dari perhatian korban kepada pasangan yang ditunjukkan dengan rasa tidak mau melepaskan, meskipun korban sudah mengetahui bahwa tindakan yang dilakukan pasangannya adalah tindakan yang salah bahkan sampai membuat korban harus menjalani perawatan psikologis. Cinta menjelma menjadi “hasrat untuk memiliki” yang menjadikan individu kehilangan dirinya sendiri. Hubungan pacaran telah menjadikan subyek sebagai obyek. Pengalaman korban kekerasan yang dilakukan oleh pacar menjadi bentuk dari hegemoni, di mana kekerasan seksual yang dialami merupakan bagian dari bentuk penindasan.

Praktik kekerasan seringkali melingkupi hubungan pacaran. Cinta menjadi selubung yang merugikan korban. Akar permasalahan dari kekerasan seksual pada masa pacaran adalah karena ketimpangan dalam relasi gender. Wawasan dan kesadaran mengenai nilai-nilai kesetaraan gender seperti pandangan tentang kesetaraan kedudukan perempuan dan laki-laki telah meningkat. Namun kondisi korban dan tindakan pelaku sebelum serta saat terjadi kekerasan seksual menunjukkan bahwa selama ini korban berada dalam kondisi yang lemah.

Perlu adanya upaya upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran korban dan pelaku akan kekerasan seksual. Dengan demikian, korban dapat melakukan tindakan preventif agar tidak terjadi kekerasan. Bagi perempuan yang mengalami kekerasan seksual, maka dia dapat melakukan berbagai strategi untuk melakukan perlawanan, diantaranya adalah dengan melaporkan kepada satgas penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi atau pihak yang berwajib. Peningkatan kesadaran korban dan pelaku ini sangatlah penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual. Korban sangat membutuhkan pihak-pihak ahli untuk bisa mengurangi trauma atas kekerasan seksual yang dialami. Begitu pula dari segi lingkungan sosial. Respon yang diberikan masyarakat seringkali tidak mendukung pemulihan trauma korban. Oleh karena itu sosialisasi diperlukan untuk memberikan pemahaman yang sekaligus bisa langsung diaplikasikan dalam lingkungan sehari-hari. Berbagai upaya ini dilakukan untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual.

Penulis: Siti Mas’udah

Jurnal: https://society.fisip.ubb.ac.id/index.php/society/article/view/497/423