Universitas Airlangga Official Website

Seberapa Besar Pengaruh Faktor Ibu Terhadap Kejadian Stunting pada Balita yang Tinggal di Perkotaan?

IL by Kompas com

Stunting  merupakan  suatu  kondisi  kegagalan pertumbuhan pada balita akibat kekurangan gizi dalam  jangka  panjang  sejak  janin  sampai  dua tahun  pertama  kehidupan.  Stunting menyebabkan terhambatnya perkembangan motorik halus dan motorik kasar,  peningkatan  morbiditas dan  mortalitas,  serta  peningkatan  risiko gangguan metabolik di masa dewasa. Pada tingkat global, WHO memperkirakan bahwa sebanyak 22,0% atau 149, 2 juta balita mengalami stunting pada tahun 2020. Dari jumlah ini lebih dari separuhnya berada di Asia (53%). Di Indonesia, angka stunting sudah menunjukkan perbaikan. Pada tahun 2021, Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) melaporkan bahwa angka stunting turun menjadi 24,4%. Namun, Indonesia masih memerlukan upaya keras untuk mempercepat penurunan prevalensi stunting hingga menjadi 14% di tahun 2024.

Prevalensi stunting pada balita masih tinggi di perkotaan. Faktor  penyebab  stunting  di  perkotaan banyak  dikaitkan  dengan  faktor  ibu.  Hal  ini karena  ibu  adalah  penentu  tersedianya  asupan dan  perawatan  kesehatan  anak  sampai  usia tertentu,  khususnya  pada  periode  1000  Hari Pertama  Kehidupan.  Kejadian stunting di perkotaan  lebih  dikaitkan  dengan urbanisasi,  kemiskinan, kunjungan antenatal, status gizi sewaktu hamil, kurangnya  kontak  ibu dengan bayi karena ibu bekerja, pola penyusuan dan pemberian makan yang tidak tepat, akses air dan sanitasi yang buruk, kerawanan pangan serta akses terbatas  pangan  bergizi. Penelitian yang spesifik menganalisis faktor ibu  masih  jarang  terutama  di  perkotaan.  Padahal faktor  ibu  menjadi  penentu  paling  penting  dalam membentuk  status  gizi  anak. Selain  itu,  prevalensi stunting di beberapa perkotaan Jawa Timur masih tinggi.

Metode dan Hasil

Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat analitik dengan case control.  Penelitian  ini  melibatkan  dua  populasi, yaitu seluruh pasangan ibu-balita usia 24-59 bulan  dengan  kondisi  stunting  sebagai  populasi kasus,  dan  pasangan  ibu-balita  usia  24-59 bulan  dengan  kondisi  tidak  stunting  sebagai populasi  kontrol.  Kriteria  inklusi  penelitian  ini meliputi  balita  usia  24-59  bulan  dan  ibunya tinggal di lokasi penelitian minimal enam bulan, balita dalam kondisi sehat dan tidak cacat, balita mempunyai buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dengan data terkait berat lahir, usia ibu sewaktu hamil,  tinggi  badan  ibu,  dan  lingkar  lengan  atas (LILA)  ibu  sewaktu  hamil  tercatat  lengkap,  dan ibu balita bersedia untuk diwawancarai.   

Hasil analisis menunjukkan bahwa status  gizi  ibu  sewaktu  hamil  mempengaruhi kejadian  stunting  pada anak yang dilahirkan (p=0,016). Status gizi ibu  sewaktu  hamil  merupakan prediktor terkuat stunting pada balita usia 24-59 bulan  di  perkotaan.  Ibu  yang  berstatus  gizi kurang  (LILA  ˂ 23,5  cm)  sewaktu  hamil berpeluang memiliki anak stunting 3,4 kali lebih tinggi  dibandingkan  dengan  ibu  yang  berstatus gizi normal (LILA ≥ 23,5 cm) sewaktu hamil. Oleh sebab itu tenaga kesehatan perlu memberi informasi gizi dan intervensi gizi spesifik berupa pemberian makanan tambahan dan multivitamin di  perkotaan  pada kelompok  rentan kurang gizi seperti wanita  usia  subur, ibu  hamil dan remaja putri.    

Penulis: Berliana Devianti Putri, S.KM., M.Kes

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://ejournal.poltekkesaceh.ac.id/index.php/an/article/view/616

Elya Sugianti, Annas Buanasita, Henny Hidayanti, Berliana Devianti Putri. (2023). Analisis Faktor Ibu Terhadap Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-59 Bulan di Perkotaan. AcTion, Vol. 8, No. 1. 30-42.