Universitas Airlangga Official Website

Skrining Tuberkulosis melalui Pemeriksaan BTA pada Pekerja Sampah di Kabupaten Gresik

Ilustrasi Pasien Tuberkulosis (Foto: Siloam Hospitals)
Ilustrasi Pasien Tuberkulosis (Foto: Siloam Hospitals)

Badan Kesehatan Dunia pada tahun 2018 menyatakan bahwa Tuberkulosis (TB) merupakan kontributor utama global penyakit dan kematian secara global. Upaya pengendalian COVID-19 beriringan dengan peningkatan angka TB-MDR atau Multidrug Resistance Tuberculosis. Peningkatan angka TB terjadi khususnya di negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah. TBC merupakan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh bakteri di udara. Individu yang memiliki penyakit TBC di paru-paru, dapat menularkan infeksi kepada orang lain. TB dapat menular secara aktif melalui bersin, batuk, bernyanyi, atau berbicara.

Tiga prioritas utama yang ingin dicapai pada tahun 2035 adalah penurunan angka kejadian dan kematian tuberkulosis, serta mengeliminasi tuberkulosis sebagai upaya penurunan beban jaminan kesehatan nasional. Peningkatan penelitian topik tuberkulosis diharapkan dapat meningkatan eliminasi tuberkulosis. Tuberkulosis umumnya menyerang paru-paru, namun dapat juga menyerang kelenjar, tulang, sendi, ginjal, otak, dan sistem reproduksi. TB End Global merupakan strategi global untuk mengurangi kasus TB, namun angka capaiannya masih jauh dari target. Strategi global untuk mengakhiri tuberkulosis telah ditandatangani oleh banyak negara di dunia. Namun, beberapa hambatan terjadi dalam upaya penurunan tuberkulosis, upaya pencegahan, dan pengendalian. Komitmen untuk memberantas tuberkulosis dirinci dalam bentuk yang lebih sederhana sehingga sesuai dengan karakteristik sebuah komunitas. Indonesia, sebagai negara tropis dengan lingkup geografis yang luas, berkomitmen untuk mengeliminasi tuberkulosis melalui pendekatan komunitas.

Tantangan yang signifikan dihadapi oleh negara-negara endemik, khususnya di Asia, termasuk kekurangan dana, kekurangan akses terhadap layanan diagnostik dan pengobatan, keterbatasan sumber daya, serta kemunculan dan penyebaran strain tuberkulosis yang resistan terhadap banyak obat. Faktor-faktor tersebut merupakan tantangan dan harus diatasi untuk mempercepat pemberantasan tuberkulosis. Upaya besar telah dilakukan dan diperkenalkan di tingkat nasional dan regional untuk mengeliminasi penyakit TBC. Hal ini mencakup penemuan kasus secara aktif, promosi perilaku kesehatan, pendekatan komunitas, maupun pendekatan individu.

Meskipun ada upaya besar-besaran selama dua puluh tahun terakhir, Indonesia masih menjadi negara dengan prevalensi TBS tertinggi kedua di dunia. Prevalensi ini menimbulkan 8,5% beban penyakit tuberkulosis. Berdasarkan data terkini yang menunjukkan persentaseTB yang tinggi, kerjasama lintas sektoral antara pemerintah dan masyarakat seharusnya dilakukan. Indonesia memiliki keterbatasan dalam deteksi kasus TBC akibat dampak pandemi COVID-19 yang berpengaruh terhadap layanan kesehatan di seluruh negeri. Deteksi TBC menurun sebesar 30% pada tahun 2020, diikuti dengan penurunan 12% pada tahun 2021.  Data menunjukkan adanya peningkatan dalam kasus tuberkulosis yang tidak dilaporkan, yang mungkin menyebabkan angka kematian akibat tuberkulosis yang lebih tinggi. Kasus TBC yang tidak dilaporkan dapat dikurangi dan terdeteksi melalui skrining masif pada kelompok risiko tinggi dan rendah. Selain itu, strategi dan upaya yang terkoordinasi untuk menemukan kasus baru dapat dimulai.

Kasus tuberkulosis yang tidak terlaporkan dapat menambah beban masyarakat dan negara sebagai akibat dari penularan yang tidak terdeteksi di dalam masyarakat. Pengobatan tuberkulosis tepat waktu dapat menyebabkan penurunan penularan yang lebih besar dalam komunitas (Chakaya dkk. 2021). Pekerja limbah merupakan kelompok risiko tinggi yang rentan terhadap penyakit menular, penyakit akibat tingginya intensitas paparan sampah. Limbah padat perkotaan dapat menyebarkan patogen bagi manusia selama pengumpulan, pengangkutan, penanganan, dan pembuangan. Para pekerja, khususnya pemulung, pekerja yang tidak terlindungi, dan penduduk lokal yang dekat dengan kota tempat pengumpulan atau pembuangan limbah padat, adalah kelompok yang sangat rentan.

Skrining massal tuberkulosis menggunakan dahak  pada kelompok pekerja sampah di Ngipik, Kabupaten Gresik, Indonesia, menunjukkan hasil negatif TB. Hal ini patut diperhatikan bahwa skrining massal tetap penting dalam mendeteksi tuberkulosis laten dan mengurangi penularannya, khususnya di kalangan populasi berisiko tinggi.

Metode apusan adalah teknik yang populer dan murah. Namun, hal tersebut memiliki sensitivitas dalam mendiagnosis tuberkulosis paru yaitu sebanyak 50% hingga 60%. Skrining massal, khususnya di kelompok berisiko tinggi seperti petugas kesehatan dan limbah pekerja, dapat membantu mengidentifikasi kasus tuberkulosis laten. Meskipun beberapa teknik berbasis molekuler (misalnya, Xpert MTB/RIF) dapat membantu mengidentifikasi tuberkulosis, namun biayanya yang tinggi membuat hal tsb tidak dapat diakses di banyak tempat terutama negara dengan prevalensi tuberkulosis tinggi. Di negara-negara dengan keterbatasan sumber daya, skema pengobatan yang diamati secara langsung (DOTS) untuk program pengendalian tuberkulosis  sangat bergantung pada mikroskop smear yang dapat diandalkan.

Penulis: Budi Utomo, Widati Fatmaningrum, Sulistiawati, Shifa Fauziyah, Chan Chow Khuen, Nur Fadhilah,  Teguh Hari Sucipto

Artikel ini dapat diakses pada link: https://e-journal.unair.ac.id/FMI/article/view/49749

Baca juga: Efikasi Diri Siswa Ditentukan Oleh Keterlibatan Orang Tua dan Guru