Universitas Airlangga Official Website

Distribusi Film Tanah Air: Keberlanjutan Bioskop dan Perkembangan Layanan Streaming

Foto by CNN Indonesia

Pandemi covid-19 yang mengguncang seluruh dunia pada akhir tahun 2019 lalu menyebabkan berbagai perubahan di segala aspek kehidupan. Kegiatan perekonomian mendadak melambat dan hampir semua sektor terdampak, tak terkecuali industri perfilman tanah air. Para pekerja yang bergerak di industri ini pun harus memutar otak untuk menemukan cara agar tetap berkarya. Pembatasan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah juga sempat membuat beberapa sineas patah semangat, mengingat hal tersebut menjadi kendala pada proses syuting, yang mana perlu melibatkan tatap muka langsung atau kontak secara fisik antar pemeran film. Hal ini akhirnya membuat jumlah film Indonesia yang tayang di tahun 2020 merosot tajam. Film yang tayang itu pun kebanyakan merupakan film yang telah menyelesaikan tahap produksi sebelum pandemi melanda. Sementara sejumlah film lain, terpaksa ditunda penayangannya untuk menunggu momentum yang tepat.

Bioskop, yang selama ini menjadi media distribusi dan eksibisi film, juga sempat terpaksa tutup total untuk menghindari penyebaran virus covid-19. Keberadaan bioskop telah mengalami berbagai pasang surut dan tak jarang diramalkan akan tergantikan suatu saat nanti. Kendati demikian bioskop mampu berinovasi, mengimbangi teknologi yang ada untuk selalu menghadirkan pengalaman spesial bagi para konsumen dalam menikmati film. Menurut Patawari (2022), faktor yang dapat “membunuh” eksistensi bioskop adalah ketika kegiatan sosial diberhentikan. Tanpa faktor pandemi, ancaman berarti bagi bioskop adalah menghilangnya nilai dan fungsi sosialisasi pada film yang terjadi karena makin individualistisnya masyarakat.

Setelah sempat tertatih selama 2 tahun pandemi, kini bioskop dan juga pelaku industri perfilman mulai bangkit kembali. Ini terbukti dengan jumlah penonton bioskop yang mulai ramai setelah pembatasan sosial diperlonggar. Bahkan, film-film yang tayang di tahun 2022 telah ada beberapa yang menduduki 10 daftar teratas film Indonesia terlaris sepanjang masa, seperti KKN di Desa Penari, Pengabdi Setan 2 (Communion) dan film remake Miracle in Cell No. 7. Seiring kembalinya penonton film mengunjungi bioskop, ternyata migrasi pelaku bisnis industri perfilman ke media streaming cukup menarik untuk dicermati. Pasalnya, pasar penikmat film yang memanfaatkan layanan streaming selama pandemi cukup besar dan terus bertambah hingga saat ini. Bahkan, keberadaan layanan streaming sempat diperkirakan akan menyingkirkan eksistensi bioskop.

Menurut studi new future of TV yang diadakan oleh The Trade Desk di tahun 2022, hampir 1 dari 3 masyarakat Indonesia menggunakan layanan streaming over-the-top (OTT) dan mengonsumsi sekitar 3,5 miliar jam konten OTT tiap bulannya. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan konsumsi konten OTT tertinggi di Asia Tenggara, dimana pertumbuhannya meningkat 40% dari tahun lalu. Keberadaan OTT memang memiliki banyak keunggulan, selain memudahkan konsumen untuk memilih tontonan sesuai selera, mereka juga dapat menikmatinya di mana saja dan kapan saja. Lebih lanjut, ternyata 61% dari pengguna OTT menonton konten video pada platform dengan dukungan iklan, ini menandakan bahwa pengiklan memiliki peluang untuk menjangkau 50 juta konsumen di seluruh Indonesia dengan memanfaatkan iklan pada OTT.

Mengutip Bloomberg, Selasa (3/10/2022), penyedia layanan OTT lokal milik PT Surya Citra Media Tbk (grup Emtek) bahkan menempati peringkat pertama di Indonesia mengalahkan Netflix dan Disney+ Hotstar untuk pasar domestik. Walaupun jumlah pelanggannya pada Q2 hanya sebanyak 3,5 juta, namun untuk level konsumsi, Vidio mampu mengungguli para pesaingnya. CEO PT Surya Citra Media Tbk menyatakan bahwa angka ini dapat diperoleh karena Netflix dan platform besar lainnya masih belum tergerak untuk melakukan investasi besar-besaran di Indonesia. Indonesia dirasa belum memiliki industri film lokal yang memadai. Banyak pasar yang belum tergarap, seperti kurangnya sumber daya manusia, kekayaan isi cerita, minim apresiasi, dll. Hal ini tentunya menjadi semacam tantangan tersendiri bagi sineas lokal dan penggerak industri perfilman untuk membuktikan kemampuan mereka menarik minat investasi penyedia layanan OTT luar negeri.

Walaupun sering dipersaingkan, menurut saya baik bioskop maupun layanan OTT akan tetap berjalan dan berkembang dengan caranya masing-masing. Karena dua hal tersebut menyasar konsumen dengan kebiasaan yang berbeda. Bioskop akan tetap ada karena ia tidak hanya menjadi sarana distribusi dan eksibisi film saja, namun ia juga menjual pengalaman bagi para penonton film. Penayangan perdana, kualitas audio visual, prestise bioskop, dan sebagainya menjadi hal yang masih cukup menggoda serta digemari oleh konsumen muda Indonesia. Konsumen dengan usia muda dan produktif ini umumnya memiliki karakter ingin selalu terdepan dan tak mau ketinggalan hype, sehingga kekuatan word of mouth dan influence mereka di media sosial dapat dijadikan strategi pemasaran film yang efektif.

Sementara layanan OTT akan menjadi sarana distribusi film alternatif bagi konsumen yang tidak memiliki waktu untuk mengunjungi bioskop, namun ingin tetap menonton film secara legal. Basis data pelanggan yang besar memberi kesempatan penyedia OTT menawarkan berbagai pilihan film untuk dinikmati. Rumah produksi yang lebih memilih menayangkan film secara perdana pada layanan OTT juga dapat dijadikan potensi untuk memperluas pemasaran film di luar bioskop. Diharapkan, film-film yang didistribusikan melalui layanan OTT ini mampu menjangkau daerah-daerah yang belum memiliki gedung bioskop dan memudahkan konsumen memperoleh lebih banyak pilihan tontonan.

Penulis: Dinar Chandra Puspita (Mahasiswa S2 PSDM UNAIR)