UNAIR NEWS – Inklusi merupakan hal yang diperlukan untuk mencapai keadilan (equity) dan persamaan (equality), khususnya dalam ranah akademik. Begitulah salah satu pernyataan yang diutarakan oleh Laura Lapinske dalam kuliah tamu yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR) pada Selasa (24/10/2023). Kuliah tamu itu bertajuk “Social Justice In Academia: Equity vs Equality” yang berlangsung di Ruang Alexa, Gedung C FISIP, Kampus Dharmawangsa B, Universitas Airlangga.
“Persamaan (equality) berarti memberikan nilai yang sama kepada semua orang, sedangkan keadilan (equity) sangat berbeda, ia beradaptasi terhadap kebutuhan seseorang,” ujarnya.
Laura bercerita bahwa keadilan gender di negara-negara Eropa sudah dapat dikatakan baik. Perempuan diikutkan dalam pengambilan keputusan, dalam bidang akademik profesor-profesor perempuan lebih banyak dibandingkan beberapa tahun kebelakang. Namun yang jadi masalah adalah perihal etnik dan keberagaman ras di Eropa sangatlah kacau.
Mengapa Penting Membicarakan Keadilan (equity) dan Inklusi dalam Bidang Akademis?
Adapun beberapa tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan keadilan dan inklusi di akademik seperti masih kurangnya representasi perempuan di dalam bidang STEM (Science, Technology, Engineering, dan Mathematics), kurangnya representasi bagi beragamnya etnik dan ras dalam tenaga didik maupun mahasiswa, serta kelompok marginal lainnya (difabel, kelompok minoritas, dan lainnya).
Tiga hal yang dapat mendukung keadilan di bidang akademis yakni, diversitas atau keragaman, inklusi, dan interseksional. Diperlukannya keberagaman dalam suatu kelompok untuk dapat membentuk pemahaman atas keberagaman, dari situ muncul inklusi atau mengikutsertakan pihak-pihak minoritas ke dalam pengambilan keputusan dengan menimbang sudut pandang berbagai pihak.
Strategi yang Dapat Diterapkan Bagi Universitas
Laura memberikan lima strategi yang dapat menciptakan lingkungan kampus yang adil dan inklusif, yakni dengan cara memberikan pelatihan dan pemahaman tentang keberagaman dan inklusi serta cara mengatasi diskriminasi, kedua dengan cara mencari dan mengolah data tentang representasi dan diskriminasi untuk menciptakan strategi berbasis data.
Mentorship and support networks untuk kelompok minoritas, advokasi dan kampanye awareness terhadap diversitas, serta penelitian berkelanjutan untuk mendukung kebijakan. Ia juga memberikan solusi praktikal dalam mencapai keadilan dan inklusivitas, yaitu mempromosikan dan memantau visibility dengan cara meningkatkan komunikasi publik, memberikan ruang berbicara untuk kelompok minor, dan menceritakan kepada publik keluhan yang dialami oleh kelompok minor.
“Menurut saya, perubahan positif terjadi ketika universitas menunjukkan komitmen mereka untuk keadilan seperti program mentoring, kantor mudah akses, serta mendanai penelitian tentang kelompok marginal,” tutupnya. (*)
Penulis: Muhammad Naqsya Riwansia
Editor: Feri Fenoria