Industri film merupakan sektor yang terus berkembang di Indonesia, memiliki peran dalam menginspirasi dan menyampaikan pesan kepada masyarakat. Industri film juga membuat perekonomian Indonesia semakin bertumbuh dengan begitu dapat berdampak pada terbukanya penciptaan lapangan kerja. Dengan penciptaan lapangan kerja akan terus mendukung karya anak bangsa menjadi film dengan pengemasan yang baik dan banyak masyarakat sukai. Sebab film penting untuk memberikan hiburan, menyampaikan pesan yang bermakna, dan memberikan motivasi ke masyarakat terutama pada anak muda. Namun, perkembang cepat industri film ini memunculkan permasalahan baru, yaitu kurang pendidikan dan pegalaman tenaga kerja di industri film.
Menurut Novera (2023) film adalah unjuk seni dan hiburan yang terkenal di dunia. Masyarakat dapat menikmati film mulai dari genre-nya, durasi, dan gaya visual di bioskop, di TV maupun di platform streaming. Menurut Bapak Mohammad Amin sebagai Direktur Musik Film dan Animasi Kedeputian Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Produk domestik bruto (PDB) Industri Film tahun 2024 mengalami pertumbuhan kontribusi sebanyak Rp. 3,41 triliun, jika pada tahun 2021 PDB subsektor film, animasi, dan video mengalami pertumbuhan hingga 6,31% dari tahun sebelumnya yaitu sejumlah Rp. 2,69 triliun (Antara, 2024). Namun, di balik kemajuan ini terdapat isu terkait Industri Film pada pendidikan dan pelatihan para tenaga kerja di industri ini. Sehingga membutuhkan regulasi yang tepat untuk membahas terkait isu tersebut.
Berdasarkan dengan Undang-Undang Penyiaran bahwa Penyelenggaraan Penyiaran berjalan berdasarkan asas salah satunya yaitu manfaat, kreativitas, moralitas dan etika serta kolaboratif. Selain itu, jika menganut pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa pelatihan kerja ada untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan. Hal ini menjadi landasan dan dasar utama dalam memajukan pekerja penyiaran. Terutama pada Industri Film dengan membuat regulasi yang terbentuk bagi tenaga kerja pada Industri Film. Namun, regulasi mengenai penunjang kompetensi pekerja industri film masih terabaikan.Â
Regulasi industri film
Regulasi industri film terdiri dari berbagai aspek, yaitu perlindungan hak kekayaan intelektual hingga siaran konten. Namun, ada aspek yang masih minim untuk diperhatikan dalam menunjang ketenagakerjaan industri film yaitu pendidikan dan pelatihan tenaga kerja film. Regulasi yang kuat dan komprehensif dapat membantu memberikan arah dan mendorong untuk mendukung pendidikan dan pelatihan bagi pekerja industri film. Dengan begitu pekerja menjadi kompeten di bidangnya, agar Indonesia dapat meningkatkan kualitas film dan daya saing film. Regulasi yang memadaidapat memberikan standar yang jelas oleh pemerintah mengenai pendidikan dan pelatihan pada industri film. Hal ini penting untuk menangani isu-isu yang sedang terjadi dan dapat membentuk sebuah kolaborasi untuk menunjang keberhasilan industri film.
Dengan adanya regulasi yang baik dapat mendukung dan melindungi para tenaga kerja film. Terutama soal hak-hak pekerja, yaitu lingkungan kerja yang aman, upah layak, fasilitas untuk menunjang kompetensi, dan perlindungan dari eksploitasi. Hal ini memberikan lingkungan kerja yang sehat pada industri film sehingga dapat berdampak positif pada produktivitas tenaga kerja film. Sehingga nantinya akan membuat kualitas produksi film di Indonesia menjadi lebih baik hingga mampu mencapai daya saing ke luar negeri.
Kurangnya tenaga kerja di Industri Film
Isu mengenai pendidikan dan pelatihan pada tenaga kerja film serta minimnya akses dan kualitas pendidikan film masih menjadi permasalahan. Hal ini kemudian berdampak dalam pengelolan sumber daya manusia bagi mereka yang berminat untuk berkecimpung di Industri Film. Hal ini juga dikatakan oleh Ody Mulya selaku Produser film Dilan 1991 bahwa ada tantangan besar yang sedang dihadapi. Tantangan tersebut adalah untuk mendapatkan sumber manusia dengan dukungan infrastruktur pendidikan film yang masih sangat kurang. Hal ini juga memberikan kekhawatiran jika saat permintaan industri film sedang naik sementara SDM yang dibutuhkan masih kurang. Akhirnya produser harus mengerjakan itu semua atau dengan merekrut sumber daya manusia yang seadanya yang dapat berdampak pada kualitas film yang diproduksi (Viva, 2019).
Selain itu, kurangnya sertifikasi kompetensi pada pekerja film dan kompetensi pengajar pada lembaga pendidikan yang tidak mahir pada teknologi perfilman. Menurut artikel Kompas (2023) bahwa hampir 80% Pendidikan Perfilman ialah bukan praktisi film sehingga berpengaruh juga terhadap rencana pembelajaran semester yang relevan dan kurikulum milik Lembaga Pendidikan Perfilman. Gap yang sedang terjadi dalam perekrutan tenaga kerja di Industri Film adalah bersifat tertutup, mereka hanya merekrut tenaga kerja karena sudah saling kenal sehingga hal ini memberikan hambatan bagi pekerja film lainnya yang sebenarnya memiliki kompetensi namun masih terabaikan. Isu yang lainnya yaitu minimnya pelatihan dengan fasilitas yang tepat bagi para tenaga kerja industri film, menurut Angela dan Setiawan (2019) bahwa kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas dan berkompeten di Industri Film sehingga perlu ada perbaikan, produser Mira Lesmana dan sutradara Joko Anwar juga pernah mengeluhkan hal yang sama.
Dari adanya isu-isu yang sudah dijelaskan sebelumnya menjadi pertimbangan mengenai pentingnya regulasi dalam mengatasi maupun meminimalisir isu-isu terkait pendidikan dan pelatihan pada Industri Film. Pentingnya kolaborasi antara peran pemerintah, organisasi, dan komunitas yang dapat berkontribusi dalam menunjang pertumbuhan Industri Film agar kualitas dan integritasnya terjaga.
Penulis: Farisa Alyani Desnithalia