Universitas Airlangga Official Website

Tinjauan Sistematis dan Meta-analisis Perilaku Risiko Penularan HIV, Variasi Genetik, dan Resistensi Antiretroviral (ARV) pada Populasi LGBT

Tinjauan Sistematis dan Meta-analisis Perilaku Risiko Penularan HIV, Variasi Genetik, dan Resistensi Antiretroviral (ARV) pada Populasi LGBT
Ilustrasi LGBT (foto: BBC)

Saat ini Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS) menjadi salah satu masalah kesehatan utama di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ada dua jenis virus HIV, HIV-1 dan HIV tipe 2 (HIV-2). HIV-1 menyebabkan epidemi di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 endemik di Afrika Barat. Di Indonesia, khususnya di Jawa Timur merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi infeksi HIV tertinggi. Salah satu penyebab penularan infeksi HIV adalah praktik lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2020, Surabaya menjadi kota dengan kasus infeksi HIV-1 tertinggi di kalangan komunitas LGBT, yaitu sebanyak 3.936 kasus infeksi di antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL/gay), dan 272 kasus di kalangan homoseksual.

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa Kecamatan Sawahan berisiko mempunyai kasus infeksi HIV-1 dan AIDS tertinggi di Surabaya. Hal ini diduga karena adanya kelompok dengan perilaku berisiko tinggi di daerah tersebut, yaitu kelompok LSL dan transgender. Penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa kelompok LSL mempunyai risiko tinggi mengalami resistensi obat HIV (HIVDR) hingga 15,6-31% (2018-2021). Terapi ARV untuk pasien HIV-1 bisa saja gagal karena mengalami resistensi obat HIV. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa dari 30 kasus infeksi HIV-1 yang berhasil diidentifikasi genotipe dan diuji resistensi obat, 5 kasus (16,67%) mengalami mutasi resistensi dan kelimanya tercatat sebagai penerima terapi ARV. Jadwal yang terganggu dan seringnya keterlambatan dalam meminum obat terapi antiretroviral (ARV) juga akan meningkatkan viral load dan menyebabkan resistensi obat dan mutasi virus. Mengidentifikasi dan memantau dinamika penularan HIV penting untuk mewaspadai munculnya rekombinan baru.

Evolusi HIV-1 yang didorong oleh mutasi berpotensi mengubah karakteristik virus seperti patogenisitas dan antigenisitas dan juga dapat memengaruhi sensitivitas metode diagnostik untuk virus ini. Untuk memantau kemunculan virus HIV rekombinan baru di Indonesia, penting untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi epidemi HIV, strain HIV rekombinan baru di Indonesia dengan pendekatan biologi molekuler.

Penyebaran di Indonesia

Sebaran subtipe/ strain HIV-1 pada kelompok gay dan biseksual di Surabaya dan sekitarnya didominasi oleh CRF01_AE (82%). Selain CRF01_AE, subtipe B (10,0%) dan beberapa rekombinan lainnya, CRF01_AE/B dan CRF01_AE/A juga ditemukan (6,0%) di Surabaya. Subtipe B diketahui lazim di Amerika (Amerika Utara dan Selatan), Eropa, Australia dan juga terdapat sebagai minoritas di Afrika dan Asia. Epidemi yang berkembang dari subtipe selain subtipe B telah dilaporkan di Afrika dan Asia. CRF01_AE lazim terjadi di seluruh Asia Tenggara dan 90% kasus HIV di Indonesia. Hal ini sesuai dengan pemberitaan sebelumnya di beberapa kota, kabupaten, dan pulau di Indonesia, antara lain Gianyar dan Denpasar Bali, Manado, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, Surabaya, dan Maumere. Hal ini juga terjadi pada kelompok gay dan biseksual yang terinfeksi HIV-1 di Surabaya dan sekitarnya (Surabaya Pusat; Surabaya Utara; Surabaya Selatan; Surabaya Timur; Surabaya Barat; Gresik; dan Sidoarjo) pada tahun 2022. Ditemukannya variasi subtipe selain CRF01_AE, hal ini dimungkinkan karena jalur penularannya melalui kontak seksual dengan pasangan asing.

Terapi ARV biasanya terdiri dari kombinasi obat, misalnya 2 NRTI ditambah 1 NNRTI, 2 NRTI ditambah 1 PI, 2 NNRTI ditambah 1 PI, 2 NRTI ditambah 1 INSTI, atau 2 NNRTI ditambah 1 INSTI. Saat ini, European AIDS Clinical Society (EACS) merekomendasikan penggunaan doravirine/lamivudine/tenofovir disoproxil fumarate. STR untuk terapi awal pada pasien yang belum pernah menggunakan antiretroviral, sedangkan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika Serikat (DHHS) mencadangkan kombinasi ini untuk beberapa situasi klinis. Jenis ART yang diberikan kepada responden sudah sesuai dengan standar rekomendasi WHO. Meskipun terapi ARV sudah sesuai standar, namun angka kejadian resistensi ARV masih saja terjadi. Faktor penyebab mutasi gen terkait resistensi terapi ARV antara lain disebabkan oleh faktor ARV, faktor virus, faktor pasien, dan faktor terkait program.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku berisiko penularan HIV pada kelompok LGBT, pola variasi genetik dan resistensi antiretroviral (ARV). Metode penelitian yang dipergunakan adalah tinjauan sistematis dan meta-analisis berdasarkan pedoman PRISMA. Peneliti menelusuri tiga database termasuk PubMed, ScienceDirect, dan Google Scholar untuk penelitian yang menyelidiki perilaku non-heteroseksual sebagai faktor risiko infeksi HIV dan resistensi antiretroviral. Hanya penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Inggris yang dipertimbangkan. Perkiraan risiko yang disesuaikan dilakukan menggunakan OR yang disesuaikan dengan interval kepercayaan (CI) 95% dan nilai p signifikan <0,001) dan resistensi antiretroviral (OR = 1,31, 95% CI = 1,00–1,71, p = 0,05).

Penulis: Prof. Dr. Santi Martini, dr., M.Kes

Link: https://journals.sagepub.com/doi/epub/10.1177/22799036241239464

Baca juga: Evaluasi Indikator Prognostik untuk Mortalitas In-Hospital pada Fournier’s Gangrene