fbpx

Universitas Airlangga Official Website

Pemanfaatan Biokultur Ekosistem Hutan Mangrove di Asia Tenggara

Mangrove memberikan beragam manfaat bagi berbagai komunitas pesisir di Asia Tenggara. Sayangnya, wilayah yang sama menunjukkan tingkat kehilangan mangrove tertinggi di dunia. Sementara penelitian yang mengeksplorasi nilainya sebagai tempat perlindungan biokultural masih sangat kurang, pemanfaatan biokultural terkait mangrove juga terancam. Ekoregion Asia Tenggara memiliki ekosistem hutan bakau dengan keanekaragaman hayati yang paling tinggi di dunia. Faktanya, wilayah yang sama merupakan rumah bagi hampir sepertiga dari seluruh hutan bakau di dunia, dan Indonesia sendiri merupakan rumah bagi hampir 20% dari seluruh hutan bakau di dunia. Seperti halnya di negara tropis dan subtropis lainnya, ekosistem mangrove memberikan beragam manfaat ekologi, sosial, dan ekonomi. Secara ekologis, hutan mangrove memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global karena hutan mangrove menyimpan karbon dengan kepadatan tertinggi yang tercatat di ekosistem manapun. Selain penyerapan karbon, mangrove juga memberikan perlindungan bagi masyarakat pesisir dari bencana alam seperti badai tropis dan tsunami. Mangrove juga mendukung mata pencaharian berbagai masyarakat pesisir di kawasan Asia.

Sayangnya, meskipun memiliki nilai penting secara global, penurunan tutupan hutan bakau terus berlanjut di berbagai belahan dunia. Asia Tenggara, khususnya, menunjukkan tingkat kehilangan hutan bakau tertinggi di dunia. Myanmar dan Filipina menduduki peringkat teratas dalam daftar “titik-titik kehilangan bakau”, diikuti oleh Malaysia, Kamboja, dan Indonesia. Perkiraan kehilangan mangrove di Filipina adalah 0,5% per tahun, namun, Myanmar terbukti menjadi titik terpanas untuk deforestasi mangrove dengan tingkat kehilangan tertinggi sebesar 0,5-0,7% per tahun dari tahun 2000-2012, lebih dari empat kali lipat lebih tinggi dari rata-rata global. Selain itu, Indonesia, sejauh ini, memiliki area kehilangan mangrove terbesar yaitu sekitar 749 km2 yang mewakili hampir setengah dari seluruh deforestasi mangrove global.

Laju kehilangan hutan bakau tersebut mencerminkan krisis lingkungan global yang mendesak. Beberapa laporan antar pemerintah mengindikasikan bahwa hilangnya mangrove dapat menyebabkan bencana dan degradasi ekosistem di seluruh dunia. Skenario yang tersedia untuk kontribusi alam kepada manusia dari mangrove dan karang saja sudah mengantisipasi kerugian senilai miliaran dolar per tahun, akibat kenaikan permukaan laut dan perambahan lahan pesisir. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) juga menyoroti dampak yang telah diamati pada area habitat dan keanekaragaman hayati, serta fungsi dan layanan ekosistem karena kematian mangrove skala besar.

Sebagaimana didefinisikan oleh Millennium Ecosystem Assessment, beragam manfaat sosial langsung dan tidak langsung yang disediakan oleh mangrove atau ekosistem lainnya dapat dikategorikan secara luas menjadi empat: 1. Penyediaan (makanan, bahan bakar, air tawar, dan produk yang diperoleh dari ekosistem), 2. Pengatur (pengaturan iklim dan air, dan manfaat lain yang diperoleh dari pengaturan proses ekosistem), 3. Pendukung (diperlukan untuk produksi semua jasa ekosistem lainnya), dan 4. Jasa budaya (manfaat non-materiil dan tidak berwujud, seperti keanekaragaman budaya, serta nilai-nilai spiritual dan religius). Namun demikian, beberapa penelitian telah berfokus pada penyediaan jasa yang disediakan oleh mangrove dan kontribusinya terhadap mata pencaharian lokal dan ketahanan pangan, kesehatan dan kesejahteraan, perlindungan dari bahaya alam, serta nilainya untuk karbon biru dan pengaturan iklim.

Meskipun berbagai jasa ekosistem relatif terwakili dengan baik dalam literatur, jasa ekosistem kultural belum didefinisikan atau diintegrasikan secara memadai dalam kerangka kerja ES, dan sering kurang terwakili, diabaikan, atau diabaikan terutama dalam penilaian jasa ekosistem dan bahkan dalam studi konservasi karena sifatnya yang subyektif dan sebagian besar tidak berwujud. Jasa ekosistem budaya mencakup manfaat non-materi, imanen, dan tidak berwujud yang disediakan oleh alam terkait dengan pengalaman spiritual, ekspresi budaya, atau inspirasi estetika, yang sulit diukur atau dinilai secara ekonomi. Selain itu, banyak kebijakan dan praktik yang gagal memasukkan pengetahuan masyarakat adat dan lokal dalam perencanaan konservasi dan pembangunan. Dalam kasus tertentu, proyek konservasi dilaksanakan dengan tujuan yang tidak jelas atau hanya berfokus pada promosi nilai rekreasi atau wisata di wilayah tersebut. Oleh karena itu, memasukkan perspektif biokultural ke dalam program konservasi masih menjadi tantangan global.

Istilah “biokultural” merupakan gabungan dari kata “keanekaragaman hayati” dan “budaya” yang digunakan untuk merujuk pada sumber daya material dan non-material yang disediakan oleh alam untuk menopang warisan budaya kita. Oleh karena itu, warisan biokultural mencakup pengetahuan, inovasi, dan praktik-praktik tradisional masyarakat adat dan lokal yang dimiliki secara kolektif dan terkait erat dengan, serta dibentuk oleh, konteks sosioekologi masyarakat (Gavin et al., 2015). Hal ini juga mencakup kepercayaan budaya, nilai, institusi, sistem pengetahuan, bahasa dan praktik-praktik yang mengekspresikan dan mewujudkan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan (Maffi, 2010). Di Asia Tenggara, ekosistem hutan bakau merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati yang kaya dan budaya lokal yang keduanya terancam punah.

Dari hasil penelitian Buenavista dan Purnobasuki (2023) dinyatakan bahwa mangrove terbukti menjadi komponen integral dari berbagai budaya lokal dan etnis di Asia Tenggara. Dalam 33 laporan yang disaring, teridentifikasi tujuh ‘lensa biokultural’ atau manfaat mangrove yang dirasakan oleh manusia, baik manfaat berwujud maupun tidak berwujud yang diketahui oleh masyarakat. Meskipun disebutkan untuk berbagai kegunaan, hasil penelitian menunjukkan bahwa mangrove terutama dihargai sebagai sumber makanan (24 laporan, 72,7%), kegunaan budaya dan spiritual (21 laporan, 63,6%), dan sumber mata pencaharian (19 laporan, 57,5%). Pemanfaatan mangrove lainnya yang dilaporkan meliputi: bahan bangunan (16 laporan, 48,4%), kayu bakar dan arang (14 laporan, 42,4%), bahan obat (7 laporan, 21,2%), dan racun ikan dan bahan pancing (2 laporan, 6,0%).

Sebagai tempat perlindungan biokultural, mangrove juga menjadi bagian dari berbagai kepercayaan dan praktik budaya dan spiritual dari berbagai kelompok masyarakat adat di Asia Tenggara. Hal ini terkait dengan kearifan lokal dan ritual berbagai kelompok etnis di Indonesia. Selain itu, hutan mangrove juga digunakan dalam fungsi budaya seperti pada kasus masyarakat adat Mah Meri di Kepulauan Klang, Malaysia yang memanfaatkan hasil hutan mangrove non-kayu untuk pembuatan topeng dan origami daun yang biasa dipakai oleh penduduk asli. Suku Ashe Maya di Myanmar juga mengumpulkan dan menggunakan perbungaan yang dikumpulkan dari hutan bakau seperti Derris spp, Phoenix paludosa, dan Flagellaria indica untuk aksesori rambut, dan persembahan ke altar Buddha atau kuil roh.

Selain budaya material, hutan bakau di Asia Tenggara juga terkait dengan sistem pengelolaan hutan tradisional dan praktik-praktik adat. Salah satu tradisi yang paling penting adalah “Sasi” di Kepulauan Maluku, Indonesia. “Sasi” adalah bentuk hukum adat yang digunakan dalam konservasi sumber daya berbasis masyarakat. “Sasi” memberikan ketentuan tentang larangan memasuki, mengambil, atau melakukan sesuatu di hutan bakau dalam jangka waktu tertentu. Di Teluk Kotania, “Sasi” tidak mengizinkan penebangan pohon mangrove muda untuk tujuan apa pun; melarang membuang sampah di ekosistem mangrove; penggunaan racun dan metode penangkapan ikan yang merusak juga dilarang; tidak mengizinkan masyarakat memelihara ternak karena dapat merusak mangrove; dan yang paling penting, sasi juga melarang siapa pun untuk mengambil, menangkap, mengumpulkan, atau membunuh berbagai jenis satwa liar yang terkait dengan ekosistem mangrove.

Dalam banyak laporan, mangrove sangat dihargai sebagai sumber mata pencaharian bagi banyak masyarakat pedesaan. Sumber daya yang terkait dengan mangrove yang menguntungkan ini termasuk kayu, ikan, kerang-kerangan (seperti kerang, siput, kepiting, udang), kayu bakar dan arang, dan berbagai bahan bangunan non-kayu seperti nipah untuk dinding dan atap rumah. Ekowisata juga merupakan sumber mata pencaharian penting bagi banyak masyarakat, terutama di Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Pemanfaatan mangrove lainnya yang belum banyak diketahui namun penting adalah sebagai obat untuk berbagai penyakit, dan sebagai sumber racun ikan dan bahan baku penangkapan ikan.

Oleh karena itu, direkomendasikan pendekatan yang lebih peka terhadap budaya dalam berbagai proyek konservasi mangrove berbasis masyarakat yang mengintegrasikan sistem dan praktik-praktik kearifan lokal dengan penuh rasa hormat. Studi yang berkaitan dengan nilai-nilai biokultural, baik manfaat nyata maupun tidak nyata dari mangrove, harus dieksplorasi lebih lanjut untuk mendorong pemanfaatan dan konservasi mangrove yang tersisa di Asia Tenggara secara berkelanjutan.

Penulis: Hery Purnobasuki

Sumber: https://jmic.online/issues/v12n2/7/